Tebang Pilih Kanker Paru

Paska pernyataan The U.S. Food and Drug Administration (FDA), 13 September 2019, yang mengumumkan agar institusi kesehatan menarik (voluntary recall) terhadap 14 produk ranitidine yang di distribusikan Sandoz Inc, Indonesia pun segera melakukan hal yang sama.

Ranitidin yang oleh FDA dikatakan menyisakan kotoran nitrosamine (nitrosodimethylamine/ NDMA) diduga dapat menjadi faktor pemicu kanker (karsinogenik). Dengan adanya temuan laboratorium yang demikian, FDA berencana melakukan penelitian lanjutan terhadap produk ranitidine yang beredar di Amerika Serikat sambil meminta penarikan terhadap 14 produk yang sudah di uji.

Di Indonesia, Badan Pengendalian Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan pada 17 September 2019 kepada tenaga medis tentang zat aktif berbahaya di ranitidine. Untuk itu sejak 4 Oktober 2019, akan menarik 67 merek obat berbahan ranitidine dalam kurun 80 hari. Sambil terus melakukan kajian terhadap merek produk lainya.

 

Reaksi Cepat

Cepatnya reaksi pemerintah Indonesia melalui BPOM menanggulangi potensi bahaya (karsinogenik) ranitidine adalah langkah yang tepat untuk melindungi masyarakat. Sebagai informasi, berbagai merek ranitidin menjadi resep yang paling sering diberikan oleh tenaga medis karena harganya yang murah. Karena itu, langkah BPOM menarik ranitidine sangat berdampak kepada masyarakat ekonomi golongan menengah ke bawah yang jumlahnya sangat besar di Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, penyakit yang berhubungan dengan gastrointestinal menduduki 10 besar penyakit terbanyak penderitanya di Indonesia. Prevalensi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), menurut hasil studi Prof Dr. dr. Ari Fahrial Syam (dekan FK UI) terhadap dokter-dokter di Indonesia, didapatkan mencapai 27,4% seperti dikutip oleh okezone.com (13/09/18). Penyakit inilah salah satunya yang membutuhkan ranitidin sebagai salah satu langkah pengobatan.

Ranitidine yang sudah diresepkan sejak 1989 oleh tenaga medis Indonesia telah menjadi obat “favorit” bagi kebanyakan masyarakat untuk mengobati keluhan di lambung. Dengan menarik peredaran obat yang banyak dikonsumsi masyarakat ini, diharapkan ancaman kanker akibat konsumsi ranitidine dapat dikendalikan. Apalagi jenis obat ranitidine inilah yang menjadi rujukan BPJS Kesehatan.

Cepatnya BPOM bereaksi terhadap pengumuman yang dikeluarkan oleh FDA dan European Medicine Agenc (EMA) di satu sisi memperlihatkan keterhubungan kalangan medis Indonesia dengan luar negeri, khususnya AS dan Eropa. Pada sisi yang lain kecepatan reaksi ini juga menunjukan kepercayaan Indonesia terhadap hasil riset yang dilakukan negara lain sekaligus memiliki kehendak untuk juga melanjutkan riset lokalnya. Kecepatan reaksi yang demikian ini sangat mungkin terjadi karena berhubungan dengan konsumsi dan kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawab negara. Replikasi kecepatan reaksi yang dicontohkan oleh BPOM diharapkan juga terjadi di lembaga lainnya yang berkenaan dengan upaya menjaga masyarakat dari bahaya.

 

Pilih Pilah Karsinogenik

Reaksi cepat pemerintah melalui BPOM terhadap obat diduga karsinogenik adalah upaya untuk memproteksi warga dari kemungkinan penyakit berbahaya yang mematikan. Untuk sebuah “dugaan” karsinogenik saja pemerintah sudah demikian cepat bereaksi maka tidak salah jika harapan yang lebih juga ditaruh terhadap produk yang justru terbukti karsinogenik. Kasus bedak (talk) yang sempat ramai diberitakan media massa akibat dihukum kerena karsinogenik misalnya. BPOM juga cepat bereaksi dan langsung mengumumkan bahwa merek produk talk yang dimasalahkan di Amerika (New York) tidak ada di daftar produk yang ada di BPOM. Walaupun pengumuman tersebut dikeluarkan tanpa mengatakan bahwa BPOM akan melakukan penelitian lebih lanjut.

Salah satu material yang justru sudah terbukti karsinogenik dan juga “diumumkan” US dan Eropa adalah Asbestos atau lebih dikenal dengan asbes. Namun pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Tenaga Kerja pada tahun 1985, “hanya” mengeluarkan aturan tentang tata cara bekerja berhubungan dengan material asbes. Tidak ada pengumuman bahwa asbes bersifat karsinogenik apalagi upaya untuk menarik produk berbahan asbes dari pasaran konsumsi masyarakat.

Irving Selikof (1915-1992) pada kurun waktu  1960-1990 melakukan riset dan membuktikan dampak karsinonegik dari asbes. Selikof yang meneliti penyakit kanker paru-paru terkait asbes di pekerja tambang membuktikan 3% pekerja tambang mengidap meshotelioma (salah satu kanker akibat paparan asbes). Amerika Serikat bahkan sejak tahun 1970 mengeluarkan Toxic Substances Control Act (TSCA) of 1976 yang mengatur ketat penggunaan, pengolahan dan distribusi asbes. Puncaknya pada tahun 1990 Environmental Protection Agency (EPA) berdasarkan TSCA mengeluarkan kebijakan pelarangan asbestos (Ban-Asbestos). Walaupun pada akhirnya kebijakan ini dibatalkan karena EPA dianggap tidak dapat membuktikan bahwa pelarangan asbes adalah langkah minimum untuk menghilangkan dampak asbes. Penentangan terhadap kebijakan Ban-Asbestos oleh perusahaan-perusahaan manufaktur asbes di Amerika Serikat ini konon dibiayai oleh pemerintah Kanada.

Bukan hanya Amerika yang mengeluarkan kebijakan Ban-Asbestos, International Ban Asbestos (IBAS) mencatat sedikitnya 67 negara sudah melarang asbestos. Bahkan di Rotterdam Convention April 2019, hanya sisa 13 negara (dari 167 negara peserta) yang masih perlu diyakinkan untuk melarang asbestos, dengan 2 diantaranya adalah penentang keras pelarangan asbestos yaitu India dan Rusia.

Jika terhadap ranitidine pemerintah begitu cepat tanggap, hal ini justru berlawanan terhadap karsinogenik asbes. Padahal sudah ada 6 orang pekerja pabrik pengolahan asbes yang terbukti dan diakui pemerintah mengidap penyakit terkait asbes. Bahkan ada penelitian yang dilakukan terhadap pengidap kanker paru di sebuah rumah sakit pemerintah membuktikan bahwa ada 130 orang yang mengidap penyakit kanker terkait asbes.

 

Kehendak Melindungi Kesehatan

Hingga saat ini asbes baru dimasukkan sebagai material limbah berbahaya dalam peraturan yang ada di Indonesia. Asbes tidak diumumkan sebagai produk yang dapat mengancam nyawa manusia yang berhubungan dengannya. Upaya menarik dari peredaran, bahkan sebatas pengumuman pun, tidak pernah dilakukan. Karenanya sampai saat ini masyarakat masih menggunakan produk berbahan asbes tanpa kecukupan informasi tentang bahayanya.

Tidak sulit bagi masyarakat untuk menemukan produk seperti atap asbes bergelombang di toko-toko bangunan. Hampir semua toko bangunan tradisional yang tersebar di seluruh Indonesia dapat dijumpai tumpukan atap asbes untuk dijual. Penjualan, distribusi, bahkan pengolahan asbes yang telah dilakukan sejak 1970-an masih berjalan dengan normal tanpa hambatan regulasi yang cukup berarti.

Pabrik material konstruksi berbahan asbes seperti atap bergelombang, lembaran lurus dan dinding masih terus menjalankan produksinya. TIdak ada satupun produk asbes untuk konstruksi yang dijual dengan mencantumkan label peringatan bahaya yang mudah dilihat dan dimengerti masyarakat. Hal ini yang menyebabkan sedikitnya 14,15% rumah tangga penduduk Indonesia (BPS, 2018) masih menggunakan atap asbes.

Mengumumkan karsinogenik asbes dan menariknya dari pasar memang tidak semudah mengumumkan dan menarik ranitidine dari pasar. Namun jika ada kehendak yang sama dari pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat, hal tersebut bukanlah tidak mungkin dilakukan. Kalau apoteker saja mau bekerja sama untuk menarik secara sukarela ranitidine, demikian halnya dengan para pengecer atap asbes yang tersebar di Indonesia.

Produsen ranitidine memang dirugikan dengan pengumuman dan penarikan produknya dari masyarakat. Namun produsen yang sama juga memiliki produk obat lain untuk jenis pengobatan yang sama. Dexa Medica, Phapros, atau Indofarma sebagai produsen obat tentu memiliki jenis obat asam lambung lainnya non-ranitidine yang masih bisa dijual di pasar Indonesia. Demikian juga halnya Djabesmen, Siam Indo Concrete Products (SICP), Shica Board, Atrisco dan lainnya juga punya produk bangunan dalam kategori yang sama tanpa asbes, jika pemerintah mengumumkan karsinogenik asbes.

Dengan kehendak yang sama dari pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat, pemerintah bisa juga menarik produk asbes dari pasaran sambil melakukan kajian mendalam terhadap karsinogenitas asbes. Kalau pemerintah melalui BPOM bisa “membatalkan” riset produsen industri ranitidine yang mengatakan produknya tidak berbahaya, maka hal yang sama juga dapat dilakukan untuk “membatalkan” riset produsen industri asbes.

Kalau kampanye penggunaan ranitidine sejak tahun 1989 saja bisa ditundukkan dengan penemuan laboratorik yang menduga cemaran karsinogen, semestinya terhadap kampanye asbes aman yang kini dipimpin Rusia juga dapat ditundukkan dengan adanya korban penyakit akibat asbes yang sudah tercatat. Terlebih di banyak negara termasuk Amerika, Eropa dan Asia sendiri sudah banyak penemuan zat pengganti asbes.

Jika pemerintah mengumumkan pentingnya “konsultasi dokter” untuk penggunaan ranitidine untuk mengatasi kepanikan konsumen ranitidine, maka sewajarnya juga mengumumkan pentingnya tenaga ahli dan terampil dalam penanganan produk berbahan asbes.

Masyarakat tentu berharap besar semangat dan kehendak pemerintah untuk melindungi kesehatan tidak sebatas menanggapi pengumuman dari Amerika dan Eropa semata. Sumber Daya Manusia Indonesia yang sehat dan berkualitas tentu harus menjadi pijakannya.

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *