Bertahun-tahun upaya memasukan asbestos krisotil sebagai material berbahaya terus diganjal di konvensi Rotterdam. Perbedaan interpretasi mekanisme pengambilan keputusan di dalam konvensi Rotterdam menjadi batu sandungannya. Hak atas informasi yang tepat dan tanggung jawab para pihak pun terabaikan.
Problem pengganjalan (blocking) masuknya bahan kimia tertentu ke dalam daftar barang kimia dan pestisida yang memerlukan persetujuan atas dasar informasi awal yang benar masih menjadi permasalah di dalam pertemuan tahunan konvensi Rotterdam. Bukti ilmiah dan dukungan organisasi dunia pun tidak kuasa mengatasi permasalahan yang terjadi. Negara bahkan badan organisasi dunia pun seolah tidak memiliki kuasa menghadapi pengganjalan oleh satu atau bebarapa negara peserta konvensi. Hal ini membuat politik perdagangan jauh lebih kuasa ketimbang suara kemanusiaan.
Mengenal Konvensi Rotterdam
Menelusuri latar belakang terbentuknya konvensi Rotterdam tidak jauh berbeda dengan situasi yang melatarbelakangi konvensi Minamata dalam pelarangan Merkuri. Banyak manusia dan lingkungan yang menjadi korban dari penggunaan bahan kimia ini membuat keprihatian dan keinginan bersama untuk berbagi tanggung jawab.
Sebagaimana penjelasan dokumen resminya, konvensi Rotterdam dilandasi pada situasi perdangangan bahan kimia dan pestisida yang menimbulkan dampak bagi lingkungan dan manusia. Pertumbuhan dramatis dalam produksi dan perdagangan bahan kimia selama tiga dekade terakhir sebelum tahun 1980, telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi risiko yang ditimbulkan oleh bahan kimia dan pestisida berbahaya. Kondisi yang demikian ini membuat negara-negara yang tidak memiliki infrastruktur memadai guna memantau impor dan penggunaan bahan kimia ini menjadi sangat rentan.
Sejak 1980-an badan dunia yang mengurusi lingkungan (UNEP) dan pangan (FAO) memulai upaya untuk memberi informasi yang tepat tentang bahan-bahan kimia yang diperdagangkan antar negara. Usaha ini terus menerus dilakukan hingga pada tahun 1989 keduanya memperkenalkan voluntary Prior Informed Consent (PIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal bersifat sukarela. Baru pada tahun 1992 dalam KTT Bumi di Rio de Jainero usulan untuk menjadikan PIC sebagai ketentuan yang mengikat secara hukum (legally binding) disepakati untuk dibicarakan lebih serius mulai tahun 2000.
Setelah perundingan panjang yang dilakukan kedua badan dunia tersebut bersama 170 negara di dunia, pada 24 Februari 2004 konvensi ini diberlakukan dan mengikat secara hukum bagi para penandatangannya. Sudah barang tentu isu ekonomi juga menjadi pertimbangan dalam pembicaraan-pembicaraan awal negosiasi selain soal dampak lingkungan dan kemanusiaan terhadap daftar bahan kimia (lembar tambahan ketiga – annex III) di periode awal.
Sepanjang pemberlakuannya, lembar tambahan III tentang daftar bahan kimia-pestisida terus diperbaharui tiap tahu dengan mekanisme pengusulan komite peninau bahan kimia (CRC). Sementara lembar tambahan VI tentang prosedur arbitrase dan konsiliasi baru diubah pada tahun 2004 dan prosedur serta mekanisme komplain baru diubah pada tahun 2019.
Dari sini terlihat kesungguhan negara-negara di dunia untuk melindungi umat manusia dan lingkungan dari dampak penggunaan bahan kimia dan pestisida. Kesungguhan ini ditegaskan di dalam dokumen resmi tujuan konvensi Rotterdam yaitu; untuk mempromosikan tanggung jawab bersama dan upaya-upaya kerja sama di antara para pihak dalam perdagangan nternasional bahan kimia berbahaya tertentu.
Tujuan lain dari konvensi ini adalah berkontribusi terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya secara ramah lingkungan. Hal ini dikatakan dapat dicapai dengan cara; 1) memfasilitasi pertukaran informasi mengenai karakteristik bahan kimia berbahaya, 2) menyediakan waktu dan proses pertimbangan pengambilan keputusan impor dan ekspor bahan kimia berbahaya oleh para pihak, dan 3) menyebarluaskan keputusan-keputusan tersebut kepada Para Pihak.
Asbestos dalam Konvensi Rotterdam
Sejak awal era konvensi ini (2004), asbestos jenis amphibole; krosidolit, amosite, antophylit, actinolite, dan tremolite sudah ditetapkan sebagai material kimia industri yang membutuhkan persetujuan atas dasar informasi awal yang benar (PIC). Hal ini di dasari atas pengalaman negara seperti Australia, Chile, dan Masyarakat Eropa (EU) yang mengalami berbagai dampak akibat penggunaan material ini. Dampak kesehatan, lingkungan, ekonomi, ketenagakerjaan yang ditemukan di negara-negara tersebut beserta temuan bahan pengganti menjadi pertimbangan CRC untuk mengusulkan persetujuan negara anggota.
Sifat karsinogenik golongan asbestos amphibole ini disepakati bersama sebagai sifat yang membahayakan dan oleh karenanya setiap transaksi material ini harus disertai persetujuan atas dasar informasi yang benar dan jelas. Selain soal kejelasan dan kebenaran informasi, transaksi atas material ini juga mengandung panggilan tanggung jawab dan mekanisme komplain jika terjadi resiko yang dialami oleh para pihak. Informasi kebahayaan asbestos jenis ini pun dipublikasikan agar diikuti dengan tindakan yang diperlukan seperti memberikan tanda bahaya yang terlihat jelas dan penanganan yang tepat terhadap kedaruratan kesehatan dan kecelakaan.
Asbestos oleh bebagai lembaga penelitian kimia bereputasi tinggi di dunia dikategorikan menjadi 2 keluarga besar; golongan serpentine dan amphibole. Secara mikroskopis kedua keluarga asbestos ini memiliki tampilan berbeda dimana serpentine terlihat bergelombang dan berwarna putih, sementara amphibole terlihat lebih lurus seperti jarum dan berwarna biru, coklat atau lainnya.
Tahun 2012, dari hasil penelitian panjang yang dilakukan Badan Penelitian Kanker Dunia (IARC) ditetapkan bahwa semua jenis asbestos bersifat karsinogenik. Pernyataan ini turut diamini oleh badan kesehatan Dunia (WHO) dan ditindak lanjuti dengan memasukan monograf IARC kedalam dokumen resminya. Dalam monograf resmi 2011 (dan diperbaharui 2019) penyakit kanker paru, laring, ovarium, dan mesothelioma, dinyatakan telah memiliki bukti yang cukup meyakinkan atas sifat karsinogenik asbestos. Semua golongan yang masuk ke tubuh dinyatakan berdampak sama, yaitu dapat memicu kanker.
Sayangnya dalam lebih dari lima pertemuan konvensi Rotterdam terakhir, krisotil belum juga disepakati untuk masuk kedalam daftar material di lembaran tambahan III. Blokade yang dilakukan oleh negara penghasil krisotil membuat krisotil, yang telah banyak terbukti membahayakan paru-paru, laring, ovarium, masih belum dapat dimintakan PIC, dan tanggung jawab bersama terhadap resiko perdagangan yang dihasilkan.
Walaupun semakin sedikit negara yang mengajukan keberatan pemasukan krisotil kedalam annex III, mekanisme dalam pengambilan keputusan di dalam konvensi membuatnya tidak mudah diambil keputusan. Atas dasar itulah krisotil masih tetap terblokir untuk masuk daftar annex III. Bukti nyata bahaya krisotil sebagai tambahan dari bukti nyata karsinogenitas golongan asbes amphibole terus bertambah. Namun produsen dan pedagang krisotil di dunia masih terus berupaya mempertahankan transaksinya dengan cara membangun argumentasi dan informasi tidak lengkap dan disinformasi berkenaan dengan bahaya asbestos. Tidak tanggung-tanggung, jaringan pelobi internasional pun dikerahkan menyasar negara-negara konsumen asbestos guna membantah argumen ilmiah badan-badan organisasi dunia demi keuntungan produsen krisotil.
10 Tahun Indonesia Ratifikasi Konvensi Rotterdam
Indonesia adalah negara inisiator yang ikut menandatangani awal konvensi Rotterdam di tahun 1998. Namun demikian Indonesia baru meratifikasinya 14 tahun kemudian melalui UU No.10 tahun 2013.
Dengan penandatanganan dan ratifikasi tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk mengimplementasikan amanat naskah konvensi. Bahkan sebagaimana penjelasan dalam tambahan Lembaran Negara No.5411 dikatakan “Pemerintah Indonesia dapat menetapkan pengaturan yang lebih ketat dari pada yang ditetapkan oleh Konvensi ini.” Maka wajar jika pada peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.3 Tahun 1985, pemerintah dengan tegas “melarang” penggunaan krosidolit.
Walaupun telah melewati pemerintahan 3 presiden sebelum akhirnya meratifikasi konvensi ini, tampaknya pemerintah belum memiliki ketetapan hati dengan pelarangan asbestos bahkan untuk jenis yang sudah dikenali bahayanya. Import bahan baku asbestos berupa krosidolit dibolehkan dengan pembatasan syarat-syarat sebagaimana diminta oleh konvensi. Larangan terbatas impor krosidolit dengan harmonized system code (HS Code) yang disepakati di dalam daftar konvensi pun “diakali” dengan cara mengubah penjelasan kode klasifikasi barang bernama “Other Asbestos” (asbestos lain). Dari hal inilah asbestos krosidolit dan krisotil bisa tetap masuk dan di olah belasan pabrik di Indonesia.
Kegalauan antara melindungi manusia dan memajukan pembangunan dialami pemerintah berlangsung hingga hari ini. Meski sudah menyatakan diri sebagai bagian dari warga dunia yang berkehendak melindungi manusia di dalam konvensi Rotterdam, ternyata pemerintah tidak kuasa untuk memastikan pembangunan yang tidak memakan korban. Kondisi demikian inilah yang melandasi impor asbes Indonesia mencapai ratusan ton hingga saat ini. Pemeo “Industri penopang pembangunan” masih bersemayam di benak pembuat kebijakan dalam memandang industri pengolahan asbestos. Alasan serapan tenaga kerja, produk akhir yang murah dan bertahan lama, dan embel-embel pendapatan negara disematkan untuk melindungi impor asbestos tanpa menagih tanggung jawab produsen dan ekportirnya.
Bahkan dalam peraturan terbaru PMK No. 26/PMK.010/2022 tentang klasifikasi barang untuk ekspor-impor, asbestos krosidolit masih dibolehkan untuk diimpor dengan ketentuan “larangan terbatas” bersama dengan “asbes lain-lain.” Uniknya, walaupun bernama “asbes lain-lain” namun referensi chemical abstract service (CAS) menggunakan CAS krisotil (CAS #: 12001-29-5). Pemerintah enggan menggunakan deskripsi krisotil dalam HS Code yang digunakan digunakannya inil.
HS Code yang Indonesia gunakan sejak 1999 saat bergabung dalam GATT (General Agreement on Tarif and Trade) untuk material asbestos ini terus berubah sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut.
1999-2008 HS 2008 | 2009-2011 HS 2009 | 2012-2016 HS 2012 | 2017-2021 HS 2017 | 2022 HS 2022 | |
2524100000 | Asbestos | – | Crocidolite | crocidolite asbestos | asbestos, crocidolite |
2524900010 | Asbestos | – | – | — | – |
2524900090 | Asbestos | – | – | – | – |
2524000000 | – | Asbestos | – | – | – |
2524900000 | – | – | Chrysotile | other asbestos | asbestos, other than crocidolite |
(Sumber: BPS – https://www.bps.go.id/exim/masterhs.html#subjekViewTab5)
Sebagaimana terlihat, perubahan dilakukan terhadap deskripsi kode tarif bea masuk jenis material yang ditandai dengan deretan angka setelah empat angka awal. Jika diperiksa detail dan merujuk laporan eksportir pada saat HS Code berlaku akan di dapati kenyataan bahwa HS Code 2524 100000 pada tahun 1999-2008 adalah Crocidolite, HS Code 2524 900010 merupakan Krisotil (dari China), sementara HS Code 2524 900090 adalah “asbes lain-lain.” Demikian pula dalam HS Code 2009, kode HS Code 2524 000000 merujuk pada material krisotil sebagaimana di ekspor oleh China.
Perjanjian perdagangan Internasional dan kawasan memang memungkinkan interpretasi terhadap sub-heading HS Code yang membuat deskripsi material menjadi berbeda. Namun demikian material inti yang ditransaksikan tidak lain adalah asbestos yang menurut IARC semuanya bersifat karsinogenik. Kebutuhan akan pembangunan tampak lebih dikedepankan ketimbang kesehatan dan keselamatan manusia yang terpapar asbestos.
Sayangnya, pemerintah Indonesia belum juga menerbitkan laporan resmi profil asbestos sebagai salah satu importir terbesar asbestos di dunia meski badan kesehatan dunia (WHO) telah mengamanatkan hal ini. Padahal profil asbes negara diperlukan untuk mengambil langkah yang tepat guna melindungi manusia dari penyakit akibat asbestos.
TIdak adanya laporan resmi realisasi impor B3 asbestos (semua jenis), tidak adanya laporan profil asbestos, yang berkelindan dengan minimnya dukungan terhadap riset dampak asbestos dan bahan penggantinya membuat resiko bagi bangsa ini semakin meningkat. Resiko ini kelak akan dihadapi sendiri oleh Indonesia tanpa tanggung jawab produsen sebagaimana amanat konvensi Rotterdam jika pengakuan tentang dampak asbestos masih absen dari wacana resmi pemerintah.
Masyarakat perlu mengingatkan pemerintah tentang pentingnya memitigasi dampak konsumsi asbestos. Melupakan kesadaran awal di saat penandatanganan konvensi Rotterdam bahwa asbestos berbahaya bagi manusia yang terus dipertahankan pemerintah perlu dihadapi dengan gerakan bersama untuk menggugahnya. Dengan cara ini harapan bahwa pemerintah akan serius mengejar pertanggungjawaban produsen dapat dirasakan publik.
Konvensi Rotterdam Mei 2023 nanti akan menjadi pembuktikan apakah pemerintah masih mau melupakan bahaya asbestos dan terbius lobi pengusaha atau mulai serius untuk mengutamakan pelindungan warga negaranya.