Jakarta 9 Oktober 2018 – Asbes telah terbukti berbahaya bagi kesehatan yang dapat menyebabkan penyakit seperti kanker paru, kanker tenggorokan, asbestosis, mesothelioma atau kanker selaput paru, dan bahkan kanker ovarium. Indonesia saat ini menjadi negara konsumen asbes terbesar kedua di dunia dengan mengimpor asbes lebih dari 100.000 ton m3 setiap tahunnya. Bahaya akan penyakit akibat asbes ini menjadi “hadiah maut” bagi para pekerja di industri asbes
Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN) adalah sebuah organisasi di Indonesia yang aktif berkampanye dalam upaya pelarangan asbes di Indonesia. Pada hasil penelitian dan advokasi yang dilakukan oleh Local Initiative for OSH Network Indonesia (LION INDONESIA) yang juga organisasi yang tergabung dala INA-BAN, menyebutkan bahwa sampai tahun 2018, sudah ada 6 pekerja industri asbes yang mendapatkan pengakuan dari negara (diwakili oleh BPJS Ketenagakerjaan). LION Indonesia membuktikan bahwa penyakit akibat asbes nyata dan tumbuh bagi mereka yang terpapar. Hal ini menjadi argumentasi kuat untuk melarang asbes, yang selama ini mendapatkan serangan balik argumentasi pabrik asbes bahwa mereka tidak menemukan korban satupun pada para pekerjanya.
INA-BAN juga melakukan pemetaan regulasi terkait asbes di Indonesia yang dituangkan dalam Kertas Posisi: Pola Kebijakan Asbes di Indonesia. Kertas posisi ini dimaksudkan untuk membedah seluruh regulasi terkait asbes dan menjadikannya sebagai sumber informasi di Indonesia. Pada implementasinya, negara banyak menyebutkan pasal bahwa asbes berbahaya namun konsumsi asbes masih terus langgeng hingga saat ini dengan menyebutkan ambang batas serat asbes di lingkungan kerja sebesar 0,1 ml/cc di udara di Permenaker tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan kerja. Tetapi pada faktanya juga industri asbes tidak menciptakan kondisi kerja yang aman bagi para pekerjanya dengan tidak menyediakan alat pelindung diri sesuai standar internasional. Kertas posisi ini akan dijadikan bahan bacaan khususnya bagi para serikat pekerja di Indonesia dan kepada pemerintahan yang juga disodorkan bukti-bukti penelitian yang dilakukan oleh INA-BAN agar pemerintah mengeluarkan peraturan tegas untuk melarang penggunaan asbes secara total.
Untuk mencapai pelarangan asbes, INA-BAN menganggap gerakan akar rumput dari serikat pekerja untuk bisa mendorong pelarangan asbes menjadi hal utama dari fokur kerja INA-BAN. Kertas posisi ini akhirnya disampaikan kepada serikat pekerja dalam sebuah lokakarya yang dilaksanakan tanggal 9 Oktober 2018 di Jakarta dengan mengundang Federasi Serikat Pekerja dan Organisasi Non-Pemerintah di Indonesia. Kegiatan ini diisi oleh Pemateri dari Surya Ferdian dari LION Indonesia dan Dokter Ade Dwi Lestari sebagai dokter jaringan INA-BAN yang ahli dalam okupasi. Acara ini juga dihadiri oleh Union Aid Abroad APHEDA Australia sebagai rekan kerja dalam kampanye pelarangan asbes di Asia Tenggara.
Acara dimulai dengan perkenalan dari INA-BAN kepada para peserta. Tujuan perkenalan INA-BAN adalah untuk memberikan informasi kepada peserta mengenai kerja-kerja yang dilakukan INA-BAN sejak tahun 2010. APHEDA juga ikut memberikan banyak informasi terkini dari seluruh dunia khususnya di Asia Tenggara mengenai strategi dalam kampanye global dan beberapa kasus lobi industri asbes kepada pemerintah agar tidak melarang asbes di negaranya. Tetapi akan lebih dispesifikasikan di hari kedua.
Pemateri pertama dalam lokakarya ini adalah Surya Ferdian. Surya Ferdian memantik forum dengan kondisi dan situasi asbes di Indonesia. Surya mengatakan bahwa tingginya konsumsi asbes di Indonesia dikarenakan pemerintah sedang gencar membangun infrastruktur. Selain itu, bea masuk pajak untuk asbes sebesar 0%. “Kebijakan dari pemerintah ini melanggengkan industri asbes terus berjalan. Sudah banyak peraturan di Indonesia yang menyebutkan bahwa asbes berbahaya dan belum ada aturan tegas yang melarang penggunaan asbes. Diperparah dengan pajak yang tidak dikenakan biaya. Disini juga kita menyebutkan bahwa dalam undang-undang konsumen itu kita dijamin disuplai informasi mengenai produk yang kita beli itu aman atau berbahaya. Tapi kita tidak diberikan informasi dalam setiap produk asbes bahwasannya ada peringatan bahaya akan kandungan material berbahaya” Tuturnya. Dia juga menjelaskan bahwa pemerintah akan mengeluarkan beberapa argumentasi jika penggunaan asbes dihentikan. “Negara berkembang seperti Indonesia butuh bahan baku yang murah dalam pembangunan infrastruktur. Serta jika penggunaan asbes dihentikan, maka akan ada pengurangan pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja menjadi rendah dan dari segi kompensasi juga terdapat tantangan yaitu korban akibat asbes tidak serta merta dapat dideteksi dan juga kompensasi ala BPJS tidak mencukupi untuk mengembalikan kesehatan pekerja karena penyakit ini tidak ada obatnya” pungkasnya.
Pemateri kedua adalah Dokter Ade Dwi Lestari sebagai ahli dokter okupasi. Dokter Ade menjelaskan kertas posisi dari segi peraturan terkait BPJS dan kesehatan di Indonesia. Perusahaan selalu takut untuk melaporkan Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja kepada pemerintah karena khawatir nama perusahaannya akan tercoreng. “Seharusnya sekarang perusahaan jangan takut untuk melaporkan Kecelakaan Kerja (KK) dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) karena perusahaan akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah karena sudah melaporkannya. Menurut WHO dan ILO tahun 2010 dan 2011, kematian paling tinggi ketiga adalah berasal dari KK dan PAK” tuturnya. “Indonesia masih sangat jarang ada perusahaan yang melaporkan penyakit akibat kerja. Masih dibawah belasan kasus. Untuk kasus pelaporan penyakit akibat asbes memang saat ini masih sedikit dan masih terkhusus di kalangan pekerja di industri asbes yang notabenenya bisa ditanggulangi oleh BPJS Ketenagakerjaan walaupun nominalnya kecil. Tapi jika untuk masyarakat biasa nantinya jika terkena penyakit akibat asbes, kita bisa mengupayakan melalui BPJS Kesehatan. Walaupun hanya untuk perawatan berkala, tidak bisa mendapatkan kompensasi. Nah yang menjadi kekeliruan kita bagi yang sudah pensiun bekerja, kita jika mau berobat menggunakan BPJS Kesehatan bukan BPJS Ketenagakerjaan. Kita juga masih memiliki kelemahan informasi dibagian itu di kalangan pekerja ” jelasnya