Sexy Killer, Industri Batubara Penyumbang Luka dan Duka

Sexy Killers, merupakan bagian terakhir Ekspedisi Indonesia Biru, sebuah perjalanan dua jurnalis Dhandy Dwi Laksono dan Ucok Suparta,  merekam berbagai masalah sosial, ekonomi dan lingkungan di Indonesia. Film ini rilis pada 5 April 2019 sampai dengan 13 April 2019, sudah 476 lokasi memutar film ini di berbagai daerah di Indonesia.

Film ini bercerita tentang bagaimana produksi listrik dari industri batubara. Dari hulu hingga ke hilir, energi penyedia listrik ‘andalan’ ini menyebabkan penghancuran hidup rakyat dan lingkungan sekitar. Berbagai kepentingan bisnis juga tumpang tindih dengan kepentingan politik oleh orang-orang yang juga punya kedudukan penting di pemerintahan.

Film dimulai dengan video ledakandari dalam bumi guna mengeluarkan batubara dari perut bumi. Hasil pengendapan tumbuhan dan binatang ratusan tahun lalu ini dikeruk dan dibawa ke berbagai daerah terutama Jawa dan Bali,  untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Batubara dibawa melalui sungai besar dan laut menuju berbagai tempat. Ada untuk diekspor, ada untuk PLTU, buat pembakaran pabrik semen,  nikel, dan lain-lain. Di PLTU,  batubara dibakar untuk menjalankan turbin hingga menghasilkan listrik yang mengalir ke rumah-rumah warga.

Masalah muncul dari hulu hingga hilir. Mula-mula dari pertambangan batubara. Banyak konsesi batubara yangdimiliki perusahaan berada dekat pemukiman maupun lahan pertanian warga.Praktis ia mengambil lahan pertanian dan perkebunan, serta tempat hidup warga,  seperti terjadi di Kota Samarinda, KalimantanTimur.

Hidup bertetangga dengan tambang batubara, bikin muncul banyak masalah, dari air bersih langka bahkan tercemar,lumpur cemari sawah, wilayah pertanian kurang produktif sampai polusi udara karena debu lalu lintas pengangkutan batubara.

Di Desa Kertabuana, Nyoman Derman, seorang pekebun, sempat masuk penjara tiga bulan karena protes tambang. Nyoman ikut program transmigrasi dari pemerintah pada 1980.

Di Kalimantan Timur, dia diminta membuka lahan pertanian namun izin tambang telah merenggut lahan bertani Nyoman dan warga Kertabuana lain. Nyoman masuk penjara dan membuat warga tak berani protes. Otomatis perusahaan tambang makin leluasa beroperasi.

Selain lahan pertanian hilang, lubang tambang yang menganga bahkan ada yang ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan, menyebabkan setidaknya 32 orang, kebanyakan anak-anak meninggal dunia. Di lubang bekas tambang itu, tak ada batas. Plang dan larangan memasuki lubang bekas tambang pun tak ada. Anak-anak dengan pemukiman tak jauh dari sana, ada yang jatuh maupun tenggelam di ‘danau’ bekas tambang batubara.

Di Sanga-sanga, Kalimantan Timur, pada November  2018, rumah warga dan jalan aspal ambles karena aktivitas tambang batubara kurang 500 meter dari pemukiman.

Pemerintah daerah tak ambil sikap tegassoal ini. Gubernur Kalimantan Timur,  Isran Noor,  hanya berucap prihatin dengan kasus kematian anak-anak di lubang tambang, meski Dirjen Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan,  perusahaan wajib menimbun kembali lubang bekas tambang seperti sebelum penambangan. Aturan hukum di Indonesia, juga jelas mengatur soal kewajiban reklamasi pasca tambang yang banyak diabaikan pebisnis ini.

Dalam perjalanan mendistribusikan batubara ke berbagai wilayah, antara lain ke Pulau Jawa, tongkang batubara menghancurkan terumbu karang, seperti terjadi di Taman Nasional Karimunjawa.  Tongkang-tongkang ini kerap menepi atauberlindung dari ombak di Perairan Karimunjawa, hingga merusak terumbu karangsekitar.

Data komunitas Alam Karimun (Akar) di Karimunjawa menunjukkan, kerusakan baik karena tongkang bersandar maupun jangkar tersangkut terumbu karang. Belum lagi batubara jatuh ke laut saat pengangkutan.

Ambon, anggota Komunitas Akar, seperti dalam beritanya Mongabay mengatakan, sejak 2012,  tongkang-tongkang batubara masuk di Karimun Jawa dan merusak terumbu karang. Pada Lebaran 2017, bahkan jumlah masuk lebih 30 tongkang. Kapal tongkang ini kabarnya menghindari badai dan ombak besar, namun diduga kuat transaksi jual beli bahan bakar.

Kisah-kisah PLTU yang merenggut ruanghidup rakyat kental dalam film ini. Di Cirebon,  PLTU bersinggungan dengan petani garam. DiBali, PLTU Celukan Bawang, jadi masalah bagi petani kelapa.

Dampak lain tentu warga yang tinggal dekat PLTU. Surayah, warga yang menolak menjual lahan untuk PLTU Celukan Bawang, terpaksa hidup berdampingan dengan PLTU dan menderita asma serta bronchitis. Cucunya pun menderita penyakit asma.

Di Panau, Sulawesi,  masyarakat terkena kanker paru-paru hingga meninggal. Di Panau, setidaknya ada delapan warga meninggal karena kanker dan masalah paru-paru.

Semua biaya kesehatan ditanggungmasyarakat sendiri. Biaya eksternal  yangtak masuk hitungan inilah yang bikin energi batubara seakan murah. Hitungannilai batubara tak pernah memasukkan dampak lingkungan dan kesehatanmasyarakat. Semua ditanggung masayarakat terdampak.

Usaha-usaha warga beralih ke energi bersih juga jadi sorotan film ini, seperti I Gusti Agung Putradhyana, arsitek lulusan Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Pria yang biasa Gung Kayon ini, mengembangkan listrik dari tenaga surya tetapi tak begitu dapat perhatian pemerintah.

Hindun Mulaika, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia mengatakan, film ini menunjukkan bagaimana kebijakan pemerintah menerabas aturan dan merenggut ruang hidup masyarakat.

Dia contohkan, PLTU Celukan Bawang, sebelumnya tak ada di rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) RUPTL,  namun tetap dibangun.

Dwi Sawung, juru kampanye iklim danenergi Walhi Nasional, mengatakan,  hampir semua analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek PLTU lolos meski tak sesuai aturan dan standar, antara lain minim partisipasi rakyat.

Kondisi ini, katanya, jadi bukti proyek-proyek PLTU hanya melanggengkan industri batubara. Berbagai penolakan dan keluhan masyarakat masyarakat, katanya, antara lain, lewat gugatan amdal mentah di pengadilan.

Gung Kayon dan masyarakat Bali menggugat SK Gubernur Bali soal PLTU Celukan Bawang namun ditolak pengadilan.

Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) nasional, mengatakan, pemilihan presiden mendatang, minim pembahasan soal perebutan ruang-ruang hidup rakyat.

“Lubang tambang bisa ditutup kembali, namun lubang di hati ibu-ibu yang kehilangan anak di lubang tambang,  siapa yang bisa menutupi?” katanya.

Sumber: Sexy Killer, Mongabay

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *