Menurut perkiraan WHO pada 2003, Sekitar 107.000 orang meninggal setiap tahun akibat mesothelioma dan penyakit terkait asbes lainnya. Meskipun semua serat asbes telah dinyatakan bersifat karsinogenik, dan 55 Negara telah melarang penggunaan asbes dalam produksi dan semua produk yang mengandung asbes. Namun di Indonesia masih ada keraguan terkait pelarangan penggunaan semua jenis asbes.
Terbatas dan rendahnya sosialisasi terkait asbes yang juga didorong oleh peraturan yang ada. Pada umumnya masyarakat di Indonesia mengenal kata asbes sebagai produk bahan atap semen bergelombang, padahal asbes sendiri adalah salah satu bahan material. Sekitar 97 % bahan baku asbes yang di impor ke Indonesia digunakan untuk bahan konstruksi seperti atap semen, plafond, partisi, pipa semen dan lainnya. sementara sisanya digunakan untuk seal, gasket, serta kanvas dan kopling kendaran bermotor.
Menurut peraturan yang ada di Indonesia saat ini, setidaknya ada 4 jenis debu atau serat asbes yang diatur atau tertulis dalam peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu asbes biru (crocidolite), asbes coklat (amosite), asbes abu-abu (anthrophyllite) dan asbes putih (chrysotile). karena, pada saat peraturan ini diberlakukan, hanya inilah serat mineral asbes yang digunakan secara komersial, berdasarkan asumsi bahwa hanya penggunaan komersial yang dapat menyebabkan paparan kepada manusia yang substansial dan secara luas.
Asbes biru (crocidolite) adalah satu satunya jenis asbes yang dilarang untuk digunakan di Indonesia. setidaknya tertulis dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: Per.03/Men/1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes. Asbes biru (crocidolite) juga termasuk dalam kategori lampiran Peraturan Pemerintah no 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Faktor utama dalam efek toksik asbes adalah dimensi serat dan biopersistent (terakumulasi di dalam tubuh). Potensi serat yang berbeda untuk menyebabkan penyakit masih dijadikan bahan perdebatan, seringkali dipengaruhi oleh alasan ekonomi — yaitu, penelitian yang didanai oleh industri pro asbes. Hal ini yang menyebabkan kenapa asbes putih (chrysotile) dianggap “kurang karsinogenik” dibandingkan asbes jenis amphibole seperti Amosite, crocidolite, tremolite, anthophyllite dan actinolite.
Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (International Agency for Research on Cancer) telah menyatakan bahwa asbes putih (chrysotile) telah terbukti mengakibatkan asbestosis, kanker paru, mesothelioma dan kanker laring dan ovarium. Asbes putih (chrysotile) menjadi satu satunya jenis asbes yang paling popular saat ini digunakan di Dunia. Berdasarkan Daftar Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) pada lampiran Peraturan Pemerintah no 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Asbes putih (chrysotile) termasuk Daftar Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dipergunakan.
Berita di atas adalah salah satu contoh dari banyaknya media yang masih sering menggunakan kata asbes untuk kata ganti atap semen bergelombang. Berita di atas juga menandakan masih rendahnya informasi terkait bahaya penggunaan produk yang mengandung asbes dan cara untuk mengurangi resiko dari paparan produk yang mengandung asbes.
Rendahnya informasi juga di dorong oleh tidak adanya ketentuan atau kewajiban bagi para pelaku industri asbes untuk memasang label dalam setiap kemasan produk mengandung asbes, baik itu tentang kandungan asbes sebagai bahan B3 dan informasi terkait cara mengendalikan resiko dari limbah asbes.
Saatnya untuk berhenti, menuju penghapusan penyakit akibat asbes.
Pada dasarnya seperti negara-negara lainnya yang belum melarang asbes. Peraturan di Indonesia menerapkan prinsip “Safe Use of Asbestos”. Meski Asbes telah dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya, dan sebagai penyebab penyakit saluran pernafasan dan penyebab kanker akibar kerja. Namun asbes putih masih dapat digunakan dengan perlakuan atau syarat-syarat tertentu. Prinsip ini di pilih sebagai negara berkembang yang membutuhkan material bahan konstruksi yang murah dan memiliki kualitas yang bagus. Sementara dampak kesehatan dibebankan kepada masyarakat, para buruh dan bersandar pada komitmen atau “niatan baik” dari pelaku industri yang menggunakan asbes.
Bagi Indonesia yang sudah terlalu lama menggunakan asbes, langkah untuk penghapusan penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan asbes tentunya akan menjadi langkah yang sangat panjang dan berat. Namun kita tidak bisa memalingkan wajah kita, bahwa beban kanker yang berkembang pesat adalah salah satu tantangan utama yang menghambat penyediaan layanan perawatan kesehatan yang efektif di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Satu tindakan sederhana untuk mengurangi beban ini adalah dengan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahan B3 yang bersifat karsinogenik seperti asbes. Pemerintah harus mulai aktif untuk memberikan informasi yang benar terkait pengendalian resiko dan bahaya paparan asbes. Informasi yang menyesatkan terkait zat yang diketahui sebagai penyebab utama kanker tidak boleh ditoleransi.
Langkah besar selanjutnya dalam peta jalan penghapusan penyakit akibat asbes, yaitu dengan memperbanyak penelitian yang objektif dan komprehensif terkait penggunaan asbes dan penyakit yang berhubungan dengan asbes di Indonesia – Baik bagi pekerja, lingkungan maupun konsumen yang menggunakan produk mengandung asbes. Hasil dari penelitian-penelitian ini menjadi dasar dari peraturan-peraturan yang tegas dan memihak hak-hak kesehatan dan keselamatan masyarakat, mulai dari tingkat daerah hingga nasional. Indonesia Sehat tanpa bahan B3 Asbes.
Penulis : Ajat Sudrajat