Rusia-Ukraina dan Restorasi Mekanisme Kerja Sama Dunia

Dua minggu terakhir ramai dibicarakan serangan militer Rusia terhadap wilayah Ukraina. Serangan yang oleh banyak pihak dikatakan sebagai serangan pendek untuk memperingati Ukraina agar tidak memainkan politik yang bisa dianggap membahayakan Rusia. Namun kini serangan yang dimaksud ternyata sudah memasuki pekan kedua yang menurut sejumlah analis memasuki fase menentukan apakah akan panjang atau selesai sampai disini.

Apapun alasan dan bentuknya, serangan militer yang merenggut nyawa manusia tidak dapat dibenarkan dan merupakan musuh bagi kemanusiaan. Korban yang jatuh dari kedua pihak berseteru adalah korban kemanusiaan akibat gagalnya mekanisme-mekanisme kerjasama dunia untuk mewujudkan dunia yang damai, menjunjung kemanusiaan, dan berkeadilan. Kita tidak bisa membenarkan apapun alasan yang dapat memperpanjang krisis kemanusiaan yang akan terjadi di depan mata.

Keberadaan NATO sebagai produk perang dunia yang sampai hari ini tetap eksis walau sudah ada badan dunia, PBB, adalah anomali imajinasi hubungan global paska perang dunia. Tidak adanya pakta pertahanan lain selain NATO membuat pakta pertahanan ini seolah menjadi hakim bagi negara-negara lain yang juga memiliki kepentingan pertahanan geopolitiknya.

Penggunaan istilah “invasi” bagi aksi Rusia sementara mengamini serangan Israel dengan alasan pertahanan sebelum di serang adalah dualisme sikap yang membingungkan publik. Demikian juga dalam hal serangan Amerika ke Irak, Afganistan dan banyak tempat lainnya. NATO seolah membenarkan anggotanya yang menyerang kemanusiaan di negara non anggotanya sementara menghakimi jika ada negara lain melakukan hal yang sama argumentasinya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa yang hanya memberi hak veto Dewan Keamanan kepada 5 negara anggota tetap dengan mekanisme konsensus bulat guna pengambilan keputusan dirasakan menghambat perdamaian dunia. Mekanisme yang demikian ini meskipun telah sejak awal dikritik oleh banyak negara lain hingga hari ini masih terus berlaku. Hal ini juga yang membuat resolusi DK PBB untuk perdamaian Ukraina-Rusia mengalami kebuntuan. Demokratisasi yang dipromosikan sebagai jalan terbaik oleh negara-negara anggota NATO justru jauh dalam prakteknya di PBB.

Sebagai negara independen, keinginan Ukraina untuk menjadi bagian dari NATO dapat dilihat sebagai upaya untuk menjaga negaranya. Namun demikian apa yang dilihat Rusia dengan rencana Ukraina tersebut juga tidak dapat disalahkan. Sementara NATO adalah satu-satunya pakta pertahanan militer dunia yang besar, tentu Rusia akan menangkap hal ini sebagai ancaman bagi pertahanannya. Perang adalah musuh kemanusiaan di satu sisi. Namun demikian kehendak kedaulatan negara dan pertahanan bangsa tidak dapat dikesampingkan.

Refleksi Mekanisme Kerjasama Konvensi Rotterdam

Apa yang kita saksikan dalam perang Rusia-Ukraina sebenarnya juga gambaran tentang mekanisme konsensus badan-badan dunia yang tidak berdaya menghadapi perkembangan situasi dan demokratisasi. Kesepakatan bulat diantara ketidakberimbangan posisi adalah penjegalan yang dilegalisasi. Kebaikan bersama sebagai tujuan akhir kerja sama dunia tidak membebek diatas mayoritas suara seperti halnya juga tidak menjadi elit yang seolah hanya sejumlah kecil pihak saja yang memiliki hak penuh menentukan arah kebaikan dunia. Dalam pembahasan terakhir konvensi rotterdam (2019) untuk memasukan krisotil dalam daftar prior information consent (PIC) bahan-bahan berhaya dalam transaksi perdagangan dunia, Rusia dan beberapa negara lainya menjegal dengan mekanisme konsensus yang tersedia. Dengan mekanisme konsensus, 67 lebih negara yang menyuarakan untuk memasukan krisotil dalam PIC tidak menjadi pertimbangan sama sekali akibat Rusia dan 10 negara lainnya yang menyuarakan berbeda. Korban akibat perdagangan asbes yang terus bertambahpun dianggap dampak bisnis biasa yang bisa terjadi terhadap barang lainnya.

Delegasi ABAN (Asia Ban Asbestos Network) dari India, Indonesia, Hong Kong, Australia dan Swiss berkampanye keras untuk reformasi langsung di Konferensi Rotterdam 2019 dengan berjaga di luar Konferensi untuk mengingatkan jutaan orang yang telah meninggal akibat paparan asbes chrysotile.

Jika dalam konflik Ukraina-Rusia ada Amerika dan NATO yang dengan hegemoninya mempengaruhi Ukraina seolah akan menerimanya sebagai anggota NATO membuat berang Rusia. Maka dalam Konvensi Rotterdam ada Rusia, China, Kazakhstan yang menghegemoni untuk tidak memasukan krisotil kedalam PIC membuat marah korban penyakit akibat asbes.

Kepentingan Amerika-NATO dalam untuk menjadi hegemoni dalam pertahanan dunia, sama besarnya dengan kepentingan Rusia-China-Kazakhstan dalam bisnis mineral karsinogenik yang diekspor ke seluruh dunia. Sama seperti demokrasi yang terus menjadi produk jualan pakta pertahanan, krisotil-Asbestos juga produk yang terus dipaksakan menjadi barang jualan ke seluruh dunia. Tanpa mengindahkan pertimbangan kebajikan negara sasarannya.

Rusia yang berada dalam posisi kuat di lembaga dunia, memang akan lebih “mudah” menghadapi lawan bahkan yang kekuatannya juga seimbang dengannya dalam konflik Ukraina-Rusia. Amerika-NATO menghadapi lawan yang tidak mudah dalam kasus Ukraina-Rusia ini. Namun dalam soal krisotil Rusia-China-Kazakhstan kelompok ini tidak memiliki lawan seimbang dalam perdebatan proses memasukkannya kedalam PIC. Hasilnya, hingga hari ini krisotil masih dibekukan untuk masuk ke dalam PIC.

Melihat propaganda yang memenuhi ruang publik bahkan di Indonesia berkenaan tentang serangan Rusia ke Ukraina juga bisa kita refleksikan dengan situasi perdebatan krisotil. Ukraina yang membangun narasi dan representasi sebagai korban kebringasan Rusia, sebangun dengan kampanye Rusia bahwa asbestos-krisotil diperlakukan diskriminatif di dalam Konvensi Rotterdam.

Propaganda Rusia dalam serangannya terhadap Ukraina, bahwa Ukraina memulai serangan terhadap negara sahabat (Crimea, Donbass) yang telah diakui Rusia kemerdekaannya serta membahayakan geopolitiknya. Serupa juga dengan upaya propagandanya membangun narasi sebagai penolong pembangunan negara dunia ketiga lewat material murah. Apalagi Rusia juga mengkampanyekan bahwa dengan safely use asbestos mereka juga memiliki konsern yang sama dengan pihak penolak perdagangan asbestos.

Mekanisme konsensus memang akan menjadi hal yang baik jika semua negara/pihak dalam kedudukan yang seimbang tanpa ada pihak tertentu yang memiliki hak yang lebih besar ketimbang yang lainnya. Konsensus membutuhkan keterbukaan dalam komunikasi dan kemauan untuk menerima dan mempertimbangkan argumentasi pihak-pihak yang beragam. Mekanisme ini terbukti di berbagai ruang telah gagal menciptakan kesepakatan-kesepakatan kebaikan untuk bersama. Baik itu di badan PBB maupun organ-organ dibawahnya.

Dorongan Resolusi Untuk Indonesia

Menghadapi kebuntuan jalan konsensus yang didominasi oleh pihak tertentu, Indonesia harusnya mampu membangun jalan untuk keluar dari kejumudan. Kemampuan yang demikian ini pernah ditunjukkan oleh Presiden Pertama, Soekarno dengan gagasan Non-Blok yang mengumpulkan negara-negara yang baru merdeka kedalam satu kekuatan yang tidak memihak blok politik paska perang kedua.

Dalam kasus Ukraina-Rusia, kita cukup tercengang dengan pemihakan Indonesia terhadap resolusi DK PBB yang diusulkan Amerika dkk. Dengan mengutuk invasi (penggunaan kata “invasi” adalah perspektif politik NATO), mau tidak mau Indonesia sudah memihak salah satu pihak berkonflik. Hal demikian ini kurang menguntungkan bagi posisi Indonesia. Kita bisa mengutuk serangan militer yang membahayakan kemanusiaan yang dilakukan baik oleh Rusia maupun Ukraina tanpa harus menghakimi apa yang dilakukan Rusia sebagai bentuk invasi. Sama halnya Indonesia juga bisa bersikap untuk mengutuk perdagangan barang-barang berbahaya tanpa PIC.

Indonesia sedapatnya bersikap untuk meminta Rusia dan Ukraina untuk berhenti berperang dan mulai kembali membangun dialog yang konstruktif tanpa intervensi pihak lain seperti anggota NATO. Seperti halnya penting bagi Indonesia untuk meminta Rotterdam Convention untuk sementara menghentikan perdagangan asbestos-krisotil sampai argument-argumen terbaik kedua belah pihak yang diametral diperdebatkan. Indonesia bisa menjadi penengah dengan menjauhkan NATO dalam perdebatan Rusia-Ukraina dalam kerangka resolususi perdamaian dan keberlangsungan kemanusiaan.

Demikian juga halnya Indonesia dapat beraksi untuk meminta Rusia, China, Kazakhstan untuk menjauh dari perdebatan krisotil. NATO, begitu pula negara eksportir Asbestos sama-sama memiliki kepentingan untuk mempertahankan dominasinya bagi yang lain.

Dengan negara-negara dominan yang terlibat dalam perundingan damai, dan masih diberlakukannya veto sulit membayangkan perdamaian akan tercapai. Dunia membutuhkan mekanisme kerja sama baru yang mendudukan semua pihak dalam drajat yang sama. Demokratisasi dan partisipasi selayaknya bukan hanya menjadi barang dagangan negara tertentu hanya untuk menutupi maksud asli untuk menjadi hegemonik. Demokrasi juga harus dipraktikan dalam mekanisme-mekanisme yang ada di lembaga dunia. Hal ini tidak lain adalah untuk mempertahankan kehormatan dan kemanjuran lembaga kerja sama dunia ini dalam posisinya yang terhormat dan disegani.

Konvensi Rotterdam sebagai mekanisme lembaga dunia terpercaya perlu di dorong merestorasi dirinya agar dapat dirasakan manfaat keberadaannya bagi semua pihak. Tidak terbatas hanya bermanfaat bagi mereka yang berkepentingan besar untuk membangun hegemoninya.

Mekanisme mufakat yang pada awalnya adalah cara manusiawi untuk mendialogkan pikiran dan perbedaan, berubah menjadi taktik politik untuk mendesakkan tirani minoritas. Nilai mayoritas memang belum tentu menjadi ukuran kebaikan bersama (common goods) namun menyerahkannya kepada sekelompok kecil pengambil keputusan (elit) juga membahayakan tujuan kebaikan bersama.

Posisi Indonesia menjadi penting untuk mendorong restorasi mekanisme kerja sama dunia. Dengan jumlah penduduk keempat terbesar, dan posisi strategis geopolitiknya, Indonesia sepantasnya memainkan bandul besar ini untuk kepentingan besar rakyat. Sebagai pasar, Indonesia menjadi pasar potensial yang besar bagi inovasi produk-produk dunia. Demikian juga berkenaan dengan politik kewilayahan di Asia Timur, Timur Tengah, dan Asia Tenggara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Tawaran-tawaran Indonesia yang diajukan dengan kepercayaan diri niscaya akan menjadi tawaran penting bagi negara-negara lain.

Apakah Pemerintah Indonesia akan cukup percaya diri dalam kancah internasional membawakan bandul politik kemanusiaannya?

Disinilah pentingnya dukungan publik untuk memberi kepercayaan diri bagi pemerintahnya. Kelompok masyarakat sipil yang berpikir dan bertindak untuk kebangsaan sudah barang tentu akan menjadi kelompok yang kritis dalam kebijakan pemerintah namun dia akan menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan bangsanya. Kelompok yang demikian ini berbeda dengan kelompok (partai) politik yang memang natur kepentingannya adalah kekuasaan dalam pemerintah.

Dalam banyak mekanisme kesepakatan internasional, mufakat bulat yang masih memperkenankan veto, dan tirani minoritas, pemerintah harus di dorong untuk berani keluar dengan solusi rasional untuk kebaikan bersama.

(Surya, Direktur LION Indonesia)

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *