Posisi geografis Indonesia disadari berada di dalam “Ring of Fire” Cincin Api Pasifik yang berarti Indonesia berpotensi sering dilanda bencana alam. Indonesia berada berada di atas tiga tumbukan lempeng benua; Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Kondisi geografis ini di satu sisi menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana letusan gunung api, gempa, dan tsunami. Namun harus diakui Indonesia masih minim kesadaran terhadap mitigasi dan penanganan saat dan dampak bencana. Hilang dan rusaknyanya alat deteksi tsunami yang diketahui paska bencana Tsunami Palu, merupakan peringatan besar kurangnya kesadaran masyarakat terhadap mitigasi bencana. Sialnya, kerusakan dan kehilangan alat deteksi bencana yang demikian bukanlah peristiwa yang pertama, dan terus saja berulang. Namun demikian, patut disyukuri bahwa bangsa ini memiliki rasa kebersamaan yang begitu erat. Setiap ada bencana, tidak butuh waktu lama, masyarakat diluar lokasi bencana pun langsung siap dengan berbagai bantuan.
Bencana tiba, berbagai bantuan berdatangan dari pemerintah, masyarakat Indonesia dan dunia. Relawan, uang, makanan, minuman, pakaian layak pakai dan kebutuhan balita serta berbagai kebutuhan korban pun berseliweran dan tentu menjadi pemberitaan media massa. Untuk korban bencana tsunami Banten dan Lampung misalnya, laman daring crowdfunding kitabisa.com mencatat angka yang cukup fantastis. Organisasi Aksi Cepat Tanggap berhasil mengumpulkan lebih dari 4,2 milyar rupiah per tanggal 30 Desember 2018. Wahana Visi Indonesia mampu mengumpulkan dana lebih dari 220 Juta Rupiah. ATeam Management pun berhasil mengumpulkan 317 Juta Rupiah lebih. Belum lagi gelontoran dari pemerintah melalui Kementerian Sosial sebesar 1 milyar rupiah. BUMN menyumbangkan 4 milyar rupiah. Bahkan Pemerintah China menyumbangkan 1,4 milyar rupiah melalui Palang Merah Indonesia dan bantuan tunai 200 Juta Rupiah melalui Organisasi Muhammadiyah.
Tahun 2018 adalah tahun yang cukup memilukan bangsa Indonesia dengan banyaknya korban bencana akibat bencana. Bagaimana tidak, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa sebanyak 2.341 kejadian bencana alam terjadi di tahun 2017 dan untuk tahun 2018 naik menjadi 2.426 kejadian bencana alam. Jumlah di tahun 2018 tersebut pun masih harus ditambah dengan kejadian Tsunami di Lampung dan Banten di penghujung 2018. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, puting beliung dan tsunami yang terjadi di 2018 menyebabkan kerugian nyawa, materi dan dan kerusakan fisik dalam jumlah yang cukup besar.
Data resmi pemerintah (BNPB) mencatat, dampak yang ditimbulkan akibat bencana selama tahun 2017, tercatat 377 orang meninggal dan hilang, 1.005 orang luka-luka dan 3.494.319 orang mengungsi dan menderita. Kerusakan fisik akibat bencana meliputi 47.442 unit rumah rusak (10.457 rusak berat, 10.470 rusak sedang dan 26.515 rusak ringan), 365.194 unit rumah terendam banjir, dan 2.083 unit bangunan fasilitas umum rusak (1.272 unit fasilitas pendidikan, 698 unit fasilitas peribadatan dan 113 fasilitas kesehatan). Pada periode Januari-November 2018, sebanyak 4.021 jiwa hilang (belum termasuk Lombok, Sulawesi Tengah dan Banten-Lampung), dan meninggal dunia, 9.883.780 jiwa mengungsi dan terdampak serta sebanyak 371.625 rumah rusak atau dengan persentase sebesar 64% kerusakan rumah disebabkan oleh puting beliung sedangkan sisanya adalah banjir, gempa bumi dan tanah longsor.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki program untuk merehabilitasi dan merekonstruksi ulang infrastruktur fisik dan sosial daerah yang terdampak bencana. Tersmasuk didalamnya adalah bantuan pembuatan rumah bagi masyarakat yang rumahnya rusak akibat bencana. Jika merujuk data kerusakan fisik yang terdampak bencana alam tahun 2017 dan 2018, angka kerusakan rumah hunian masyarakat menduduki posisi paling besar diantara bangunan lainnya.
Belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, khususnya pengalaman tsunami Aceh, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membuat program bantuan Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) bagi masyarakat yang rumahnya terdampak bencana. Program RISHA yang terdaftar dalam laman resmi E-Produk Litbang PUPR ini kemudian diperluas untuk juga menjawab kebutuhan masyarakat akan perumahan dengan biaya rendah yang terus meningkat. Program rumah ini dirancang untuk masyarakat Indonesia yang ingin kembali memiliki atau membangun rumah dengan harga terjangkau yakni hanya dengan +/-50 Juta Rupiah untuk unit rumah berukuran 36 m2. Rumah ini pun dirancang dan diyakini tahan gempa serta menggunakan teknologi seperti permainan “lego” karena seperti bongkar pasang dan hanya membutuhkan 3 orang pekerja untuk menyusunnya.
Program RISHA inilah yang digunakan oleh pemerintah dalam banyak bantuan bencana alam karena dianggap menjadi salah satu solusi membantu masyarakat. Memiliki rumah adalah salah satu impian setiap orang, terlebih bagi mereka yang menjadi korban bencana alam. Namun, jika kita melihat lebih detail bahan material yang digunakan dalam membangun rumah ini, penamaan Rumah Sederhana yang Sehat justru melenceng jauh. Teknologi RISHA sendiri, masih merekomendasikan atap asbes bergelombang bagi rumah dalam rancang bangunnya. Atap asbes bergelombang memang selalu menjadi alternative pilihan karena harganya yang ramah kantong dan alasan daya tahan terhadap api. Namun dibalik itu semua, asbestos bahan pembentuk atap asbes inilah yang juga dapat menjadi pemicu banyak penyakit seperti Kanker Paru, Kanker Tenggorokan, Mesothelioma dan sebagainya yang tergolong penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan, asbestos bersifat memicu kanker (karsinogenik) dengan golongan A1 dan menjadi Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
Bahaya asbes sudah terbukti berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sampai akhir 2018, sedikitnya ada 6 orang diakui oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam kurun waktu 2017-2018 menderita penyakit akibat asbes. Belum lagi puluhan korban lainnya yang masih berupaya memperoleh “pengakuan” dan kompensasi dari negara.
Berdasarkan estimasi perhitungan yang dilakukan Global Burden of Disease, Institute for Health Metrics and Evaluation (2018), sedikitnya terdapat 1 resiko kematian dari 100.000 penduduk yang terpajanan asbes (ditempat kerja). Jumlah korban diyakini akan terus bertambah karena impor asbes Indonesia masih tinggi. Lebih dari 100.000 ton m3 diimpor setiap tahunnya sejak Indonesia mulai membangun infrastuktur fisik. Kurangnya informasi yang lengkap dan pengetahuan yang mendalam dikalangan dokter dan ahli menjadi penyebab lambatnya penemuan korban akibat asbes. Selain dampaknya yang baru akan muncul 15-20 tahun setelah pajanan pertama, gejala penyakit akibat asbestos ini hampir mirip dengan penyakit tuberculosis (TBC) dan kanker paru pada umumnya. Sehingga para dokter khususnya, yang belum memiliki kemampuan diagnosa asbes pasti akan mendiagnosa penyakit tersebut adalah TBC atau kanker paru umum. Maka dari itu penemuan korban asbes di Indonesia masih sangat lambat.
Asbestos yang diolah menjadi produk atap akan menimbulkan bahaya yang besar ketika produk tersebut mengalami pelapukan dan hancur, salah satunya, akibat bencana. Debu asbes yang berterbangan akan membahayakan korban selamat dan juga relawan yang membantu proses evakuasi dan rehabilitasi daerah yang terdampak bencana. Terlebih dalam program RISHA tersebut, pekerja konstruksi yang membangun RISHA sangat berpotensi terkena penyakit akibat asbes dan semestinya terus diawasi hingga minimal 15-20 tahun (Australia bahkan mencapai 75 tahun) setelah pajanan asbes. Jika semua rumah yang terdampak bencana sepanjang tahun 2018 dibangun dengan model RISHA beratap asbes, maka sedikitnya 1.114.875 orang pekerja (bangunan dan relawan) terancam penyakit akibat pajanan asbes. Istilah yang tepat dari keadaan ini adalah “keluar dari kandang singa, masuk ke dalam mulut buaya”. Pada akhirnya pekerja yang akan mendapati bahaya lebih besar dari asbes ini.
Ironisnya, Presiden Jokowi pun sempat meninjau langsung pembangunan RISHA saat terjadi bencana di Lombok. Saat ia diwawancarai tentang alasan pemilihan RISHA, alasannya “Biar Cepat Dihuni.” Memang masyarakat yang terdampak bencana tidak akan betah tinggal berlama-lama di pengungsian. Namun sangat tidak bijak mempertaruhkan kondisi kesehatan dengan penggunaan bahan material bangunan mengandung asbestos.