Jakarta – Dalam kurun waktu 2007-2017 Indonesia mengimpor bahan baku asbestos berupa krisotil lebih dari 1 juta ton. Jika ditotal sejak awal impor asbestos dilakukan tahun 1955 dan lonjakan tertinggi di tahun 1980-an, maka puluhan juta ton asbestos telah dikonsumsi masyarakat Indonesia. Namun sampai hari ini bahaya asbes yang begitu besar belum menjadi perhatian serius dari pemerintah.
Hingga saat ini, kampanye penggunaan aman asbestos masih menjadi landasan pemerintah untuk tidak segera melarang asbestos di Indonesia. Lebih dari 4.400 orang pekerja industri pengolahan asbestos masih dibiarkan tanpa perlindungan. Lebih dari 6 juta rumah tangga Indonesia masih menggunakan atap asbes tanpa tahu bahaya yang mengintainya.
Dennis Nowak, Profesor kedokteran okupasi yang juga ahli kanker paru, mengatakan penggunaan bahan mineral asbes mengancam kesehatan masyarakat. Baik bagi para pekerja yang membangun gedung maupun pengguna gedung. Hal ini disampaikannya dalam Kuliah Umum di Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia, Rabu, 18 April 2018.
Bukan hanya paru-paru yang akan terancam dari lepasnya debu asbes diudara. Bahkan menurut penelitan yang dilakukan Dennis Nowak, debu asbes dapat menjadi pemicu kanker ovarium.
“Setidaknya ada empat jenis kanker yang disebabkan oleh asbes yaitu kanker laring, kanker paru, kanker permukaan paru atau mesothelioma dan kanker ovarium bagi perempuan. Penyakit ini sudah banyak dialami oleh negara-negara pengguna asbes yang sekarang telah melarang penggunaannya,” ujar Nowak mengutip sejumlah riset termasuk riset yang dilakukannya.
Berkaca pada pengalaman di Jerman, menurut Nowak seharusnya Indonesia segera menghentikan impor dan penggunaan asbes di masyarakat. Jerman harus menerima kenyataan bahwa memasuki abad 21 sedikitnya 1500-2000 penduduknya meninggal akibat asbes setiap tahunnya.
“Indonesia juga akan mengalami ledakan penyakit akibat asbes 30 tahun mendatang yang sama dengan Jerman,” jelasnya.
Nowak merujuk angka importasi asbes Indonesia pada tahun 2017 yang mencapai 109.000 Ton. Walaupun besar importasi asbes ditahun 2017 jauh lebih kecil ketimbang tahun 1980-an disaat Indonesia sedang berlari kencang dalam pembangunan.
Badan kesehatan dunia (WHO) memprediksi booming penyakit akibat asbestos akan tercapai pada kurun 25-30 tahun setelah puncak penggunaan asbestos. Sejumlah riset yang dikelola collegium ramazini juga memprediksi dengan kurun waktu yang hampir sama.
Mochamad Chalid, Dosen Teknik Metalurgi UI mengatakan, di Indonesia aplikasi dari asbes ini tidak hanya ditemukan dalam produk atap saja, tetapi juga kanvas rem, kabel, insulasi pipa hingga baju pemadam kebakaran. Tidak diperlukan keahlian tinggi untuk mengolah bahan asbestos sehingga banyak dilirik pengusaha untuk dijadikan bahan utama dalam kegiatan produksinya. Paparan asbes di lingkungan telah menjadi ancaman nyata bagi masyarakat karena banyak sekali produk asbes yang telah ada dipakai di masyarakat.
“Setiap produk asbes yang terkena panas, maka serat asbes akan semakin mengecil dan akhirnya terlepas dan membahayakan apabila tercemar ke udara,” ucapnya.
Partikel asbestos yang terlepas di udara diakui berbahaya bagi kesehatan. Merujuk standar Occupational Health and Safety Assesment (OSHA), paparan debu asbes sebesar 0,15ppm dapat menyebabkan 4 kematian pada setiap 1000 orang.
Salah seorang dokter okupasi Indonesia yang mendampingi Dennis Nowak mengatakan bahwa Informasi mengenai dampak bahaya asbes sangat asing di telinga masyarakat. Bahkan dokter-dokter yang ada di Indonesia belum cukup mengetahui asbes ternyata memiliki bahaya yang sangat besar.
“Setiap penyakit yang terdapat pada paru-paru memiliki gejala yang sama. Sehingga dalam melakukan diagnosis menjadi hal yang sulit. Penyakit akibat asbes ini memiliki gejala yang sangat mirip dengan penyakit Tubercholosis (TBC),” tegas Dr. Anna Suraya SP.Ok.
Dr. Grace Monica Halim, perwakilan ILO yang rurut hadir dalam acara kuliah umum tersebut mengatakan bahwa Indonesia sama sekali belum meratifikasi konvenan pelarangan asbes yang digagas di ILO sejak tahun 1985. “Konvensi ini sifatnya mengikat setiap negara tetapi ILO tidak dapat menekan pemerintah Indonesia dalam pelarangan asbes karena Indonesia sampai sekarang belum meratifikasi ketiga konvensi tersebut,” pungkasnya.