Dalam beberapa pekan kebelakang perbincangan sosial disesaki dengan tema tentang rencana pemindahan ibu kota negara. Sebelumnya, pemerintah melalui kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyampaikan presentasi tentang alasan dan syarat-syarat lokasi ibu kota baru di banyak forum. Kemudian diikuti dengan pernyataan para menteri yang mengindikasikan lokasi ibu kota baru.
Hingga puncaknya saat Presiden Joko Widodo membuat konferensi pers khusus mengumumkan rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam, di Kalimantan Timur. Dikatakan, alasan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur karena alasan kepadatan penduduk, kontribusi terhadap PDB, ketersediaan air, dan konversi lahan (Kompas, 27/08). Apapun alasannya, nampaknya pemerintah memang sangat serius untuk memindahkan lokasi ibu kota negara saat ini.
Asbes dan Ibu Kota
Sebagai wilayah yang rumah tangga penduduknya mengonsumsi atap asbes terbesar di Indonesia (54%, BPS 2017), langkah pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam adalah peluang untuk mulai mengeliminasi resiko penyakit akibat asbes. Namun pada saat bersamaan dia bisa juga menjadi pemicu untuk penggunaan lebih jauh atap asbes di ibu kota baru.
Laporan kesejahteraan rakyat yang dilansir BPS, 2018 mengatakan bahwa di Kalimantan Timur, pengguna atap asbes merata antara lokasi kota dan desa. Hanya terpaut 0,16% antara penduduk kota pengguna atap asbes (6.32%) dengan desa (6,16) di Kalimantan Timur. Angka ini terpaut cukup jauh dengan Jakarta yang lebih dari separuh penduduknya (54%) adalah pengguna atap asbes.
Harga dan daya tahan asbes yang bertemu dengan pendapatan mayoritas penduduk menengah kebawah membuat asbes masih menjadi idola di perkotaan. Apalagi sampai hari ini tidak ada satupun produk asbes yang menyertakan peringatan bahaya asbes bagi konsumennya. “Murah”, “Lama” dan “minim informasi” menggambarkan situasi konsumsi asbes di masyarakat Indonesia saat ini. Perpaduan antara harga yang murah, daya tahan yang lama serta minimnya informasi tentang bahaya asbes.
Tidak dapat dipungkiri, masyarakat perkotaan yang penghasilannya masih mayoritas bergantung dari menjadi pekerja adalah ladang bagi pemasaran produk asbes. Daya tarik harga asbes menjadi jawaban bagi penghasilan masyarakat yang menengah kebawah. Transformasi dari masyarakat desa menjadi kota yang tidak diikuti trasformasi mind set membuat keputusan-keputusan konsumsi di kota besar diambil juga secara sederhana. Barang murah, daya tahan yang lama, dan praktis tentu menjadi alasan peneguhan menggunakan atap asbes. Jika ditambah dengan minimnya informasi tentang bahaya asbes, maka lengkaplah alasan untuk menggunakan atap asbes.
Jika merujuk rata-rata upah buruh yang nota bene berada di perkotaan di Indonesia, dengan penghasilan antara 2,6 – 4 juta untuk tingkat Pendidikan SMA-Sarjana (BPS, 2018), maka pilihan atap asbes menjadi rasional bagi mereka. Untuk kebutuhan minimal yang layak bagi kesehatan dan keselamatan kerja buruh saja, upah yang demikian masih jauh dari cukup. Maka pilihan jika harus “memaksakan” memiliki tempat tinggal adalah dengan bahan yang murah dengan daya tahan yang cukup lama.
Memindahkan ibu kota semestinya tidak ikut juga memindahkan “konsumsi” asbes yang tinggi dari Jakarta ke Penajam di Kalimantan Timur. Untuk itu perlu upaya terukur agar peningkatan kesejahteraan masyarakat di lokasi calon ibu kota baru juga meningkat terlebih dahulu. Gedung-gedung perkantoran, pemukiman dan lingkungan warga harus dipastikan terbebas dari serat debu asbes. Memastikan pemukiman pendukung sarana ibu kota yang bebas dari asbes adalah langkah paling bijak untuk tidak memindahkan potensi ledakan penyakit akibat asbes di masa depan dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Belajar dari Kota Bandung
Sebagai satu dari 5 kota besar di Jawa Barat dengan konsumsi atap asbes tertinggi (15,27%) Kota Bandung sudah memulai upaya untuk mengeliminasi dampak penyakit akibat asbes. Peraturan daerah (Perda) Nomor 14 Tahun 2018 tentang bangunan gedung dengan jelas melarang penggunaan bahan berbahaya bagi manusia seperti asbes. Sampai saat ini, peraturan tersebut adalah satu-satunya peraturan dari pemerintah yang secara gamblang melarang penggunaan asbes di bangunan gedung.
Walaupun baru berskala kota dalam provinsi, namun langkah kota Bandung layak ditiru oleh kota-kota lainnya. Termasuk ibu kota negara nantinya. Pemerintah yang tidak dapat membatasi apalagi melarang dunia industri setidaknya dapat membuat langkah tepat untuk membatasi konsumsi masyarakat. Karena bagaimanapun, memastikan rakyat hidup sehat adalah tanggung jawab negara.
Inisiasi untuk mulai membatasi penggunaan asbes memang sudah dimulai oleh berbagai pihak. Kelompok arsitek misalnya selalu menyarankan kliennya untuk tidak menggunakan bahan baku bangunan mengandung asbes. Demikian juga kelompok-kelompok yang terlibat dalam kebencanaan.
Belum lama, di Lombok, Kementerian Sosial bahkan meluncurkan panduan pengendalian asbes dalam situasi bencana. Satu hal yang dibahas dalam panduan tersebut adalah langkah untuk tidak menggunakan kembali asbes untuk membangun hunian paska bencana. Inisiasi-inisiasi lainnya pun sudah mulai banyak dilahirkan oleh berbagai lembaga untuk membatasi penggunaan asbes. Di masa depan, dengan semakin maraknya negara-negara yang melarang asbes di dunia, inisiasi-inisiasi ini niscaya akan menjadi gerakan besar menuju perubahan peraturan yang lebih besar untuk melindungi masyarakat dari resiko penyakit akibat asbes.
Sulit bagi negara untuk melarang sebuah industri untuk berkembang disaat desakan menurunkan tingkat pengangguran juga menjadi tanggung jawabnya. Serapan tenaga kerja di industri pengolahan asbes yang menjadi bahan jualan industri tidak dapat dilawan hanya dengan kebijakan yang keras dan cenderung otoriter. Dia harus disaingi dengan upaya-upaya inisiatif warga untuk terus mengeliminasi resiko penyakit akibat asbes. Salah satunya dengan upaya mengajak tidak mengkonsumsi asbes.
Ibu kota baru Indonesia menantikan warga yang sadar dan bahu membahu untuk meminta pemerintah tidak memindahkan resiko penyakit akibat asbes ke lokasi baru.