Korban asbes sudah bermunculan di Indonesia sejak tahun 2008. Para korban yang ditemukan berasal dari kalangan pekerja. Kemunculan korban ini mungkin saja dapat ditemukan lebih cepat jika saja situasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada industri di Indonesia berpihak kepada para pekerja. Alat pelindung diri sesuai standar, besarnya biaya pemeriksaan kesehatan tahunan, penerapan sistem manajemen K3, hingga proses klaim kompensasi yang relatif mudah menjadi hal asing di kalangan industri bahkan di kalangan para pekerja itu sendiri.
Kesadaran dalam K3 tersebut diperparah dengan lemahnya pengawasan pemerintah ditunjukan dengan tidak adanya pembaharuan undang-undang K3 yakni UU No. 1 tahun 1970 dan mayoritas elemen dalam pemerintahan tidak mengetahui bahaya asbes. Hal ini menjadikan isu asbes yang berbahaya menjadi tidak lazim di masyarakat bahkan artinya melebur menjadi sebatas produk atap karena sebagian besar asbes yang diimpor digunakan untuk pembuatan produk atap.
Besarnya impor asbes di Indonesia membuat bahaya asbes menjadi nyata. Tercatat sebesar 109.035 ton m3 asbes putih diimpor ke Indonesia pada tahun 2017. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor asbes terbesar di dunia. Lebih dari 90% bahan baku tersebut digunakan untuk pembuatan produk atap. Sisanya digunakan untuk pembuatan insulasi, kain, pipa air dan sebagainya.
Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN) adalah sebuah organisasi di Indonesia yang aktif berkampanye dalam upaya pelarangan asbes di Indonesia. Pada hasil penelitian dan advokasi yang dilakukan oleh Local Initiative for OSH Network Indonesia (LION INDONESIA) yang juga organisasi yang tergabung dala INA-BAN, menyebutkan bahwa sampai tahun 2018, sudah ada 6 pekerja industri asbes yang mendapatkan pengakuan dari negara (diwakili oleh BPJS Ketenagakerjaan). LION Indonesia membuktikan bahwa penyakit akibat asbes nyata dan tumbuh bagi mereka yang terpapar. Hal ini menjadi argumentasi kuat untuk melarang asbes, yang selama ini mendapatkan serangan balik argumentasi pabrik asbes bahwa mereka tidak menemukan korban satupun pada para pekerjanya.
INA-BAN kali ini mengadakan seminar nasional yang bekerja sama dengan Universitas Binawan, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Okupasi, Perkumpulan Subspesialis Radiologi Toraks Indonesia, Rumah Sakit Persahabatan dan International Ban Asbestos Secretariat (IBAS) dalam sebuah acara yang berjudul “Update Diagnosis of Asbestos Related Disease” di Universtias Binawan, Jakarta. Seminar ini ditujukan untuk para dokter dan mahasiswa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Universitas Binawan. Seminar ini menghadirkan Prof. Jeung Sook Kim dari Korea, dr. Anna Suraya, dr. Aziza G Ikhsan dan dr. Agus Dwi Susanto.
Pembicara pertama adalah dr. Anna Suraya. dr. Anna menyampaikan tentang situasi korban penyakit asbes di Indonesia. dr. Anna yang juga secara individu terlibat dalam INA-BAN pernah melakukan pemeriksaan pekerja di pabrik asbes sebanyak 26 orang dan 17 pekerja positif terkena penyakit akibat asbes. “Penelitian kami lakukan atas dasar kesukarelaan para pekerja asbes. Namun belum semua dapat dikompensasi. Baru 1 orang yang mendapatkan kompensasi dari BPJS Ketenagakerjaan dan 5 orang baru mendapatkan pengakuan dari negara” jelasnya. Beliau juga menjelaskan untuk klaim kompensasi ini sangat sulit karena penyakit akibat kerja khususnya asbes masih menjadi hal yang asing baik di kalangan pekerja dan pemerintah.
Pembicara kedua adalah dr. Agus Dwi Susanto. Beliau menyampaikan kasus penyakit paru akibat asbes di Rumah Sakit Persahabatan sudah ada. Namun beliau belum bisa menyampaikan secara tegas karena belum ada pemeriksaan lebih lanjut. “sejak tahun 1994-2014, sudah ada 20 kasus penyakit paru pada pasien yang memiliki riwayat terkena pajanan asbes. Namun kami masih perlu pemeriksaan lebih lanjut.” Pungkasnya saat menjawab pertanyaan dari peserta seminar.
Pembicara selanjutnya adalah dr. Aziza sebagai dokter radiologi juga menyampaikan penyakit akibat asbes tidak dapat dideteksi dengan cara Rontgen biasa. “Penyakit asbes itu hanya bisa didiagnosa klinis menggunakan HR CT-Scan. Jangan menganggap hal ini mewah demi diagnosa klinis karena ini standarnya. Untuk itu para dokter di Indonesia harus mengetahui diagnosa klinis ini.” Pungkasnya.
Sedangkan Professor Kim sendiri mendapat giliran menjadi pembicara di akhir seminar. Professor Kim menjelaskan bahwa terkait berita terkini mengenai diagnosa klinis penyakit akibat asbes sudah cukup banyak di negara asalnya, Korea Selatan. “Terkait diagnosa terbaru, kami bisa membagikan pengetahuan ini kepada para dokter di Indonesia karena lokasi penyakit ini bisa saja muncul di banyak tempat untuk diagnosa awalnya.” Jelasnya.
Pada akhir seminar, Profesor Kim berdiskusi dengan INA-BAN untuk menceritakan sejarah pelarangan asbes di Korea Selatan. Profesor Kim juga mengetahui bahwa sejarah salah satu pabrik asbes di Indonesia, mesin yang digunakan untuk mengolah asbes menjadi pintalan benang adalah dari Korea Selatan. “Pentingnya kerjasama antara NGO dan para ilmuwan penting dalam gerakan pelarangan asbes. Korea Selatan dulu juga melakukan hal yang sama dalam pelarangan. Hanya saja pasti para pebisnis asbes melawan balik dengan menyewa ilmuwan juga dan beragumen bahwa asbes masih dapat dikendalikan, padahal tidak sama sekali” Katanya di akhir diskusi.