Jakarta – Pemerintah dinilai tidak serius dalam mengurus kesehatan dan keselamatan kerja. Dalih pemotongan anggaran yang hampir mencapai 50 persen dianggap sebagai bukti bahwa tidak adanya komitmen pemerintah mengurusi kelanggengan hidup para pekerja di Indonesia. Hal ini mengemuka dalam Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan dan Pengawasan UU K3 di Indonesia yang digelar Industri All di Jakarta, 98/11).
“Potongan anggaran sampai 50 persen, banyak program yang harus dipotong termasuk dalam pengasawan,” ujar Herman Bagus, Kepala Sub Direktorat Pengawasan K3 Kementerian Ketenagakerjaan .
Kurangnya tenaga pengawas dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di Kemnaker diakui menghambat pengawasan norma K3 yang harusnya diterapkan perusahaan. Pemerintah pusat kesulitan untuk mengawasi pelaksanaan norma K3 karena sebaran perusahaan yang harus diawasi tidak sebanding dengan jumlah tenaga pengawas.
Terlebih lagi saat ini dengan adanya otonomi daerah, pengawasan ketenagakerjaan dilakukan di kabupaten/kota menggunakan anggaran daerah. Dengan demikian pemerintah pusat semakin sulit untuk dapat terjun langsung ke pabrik walaupun memiliki sejumlah ahli K3.
“Muncul raja-raja kecil di daerah yang “memegang” sejumlah perusahaan. Kalau orang pusat datang tanpa kulonuwun, pasti akan jadi masalah,” tambahnya.
Masih inginnya pemerintah mempertahankan UU Nomor 1 Tahun 1970 karena dianggap masih relevan memperoleh kritik dari peserta lokakarya. Mereka menilai sejumlah aturan yang terdapat di dalam UU Keselamatan Kerja sudah tertinggal, tidak implementatif dan masih lemah dalam memberi sanksi kepada pelanggar.
“Undang-undang ini lahir sejalan dengan konsep ekonomi yang menginginkan investasi masuk dan membangun industri di Indonesia. Dia bukan lahir dari kehendak rakyat untuk melindungi dirinya saat bekerja,” ujar Surya, peserta dari Local Initiatives for OSH Network.
Dia menambahkan, UU Kerja tahun 1948 yang juga melahirkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964, jauh lebih memiliki perspektif kerakyatan ketimbang UU Pokok Tenaga Kerja 1969 yang menjadi landasan UU 1 Tahun 1970. Menurutnya, ideologi yang melandasi kedua produk pengaturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja terlihat jauh berbeda.
Hal senada juga disampaikan oleh Konsil Indonesia Industri All, Iwan Kusmawan. Dia mengatakan bahwa banyak hal yang tidak diatur dan bahkan sudah tidak relevan di dalam UU 1 Tahun 1970.
“Sanksi ringan berupa pelanggaran tidak membuat perusahaan jera dalam menciptakan kondisi kerja yang tidak aman dan sehat. Selain implementasi yang justru tidak dapat dilakukan kementerian, UU ini berpotensi membuat kementerian bertindak cacat hukum,” jelasnya.
Menanggapi kritik serikat pekerja dan NGO, Perwakilan ILO dan Kementerian berdalih bahwa UU 1 Tahun 1970 bersifat preventif dan pemeliharaan bukan dimaksudkan untuk menjadi undang-undang represif.
“Undang-undang ini lebih bersifat untuk pemeliharaan dan pencegahan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja,” jelas Abdul Hakim, perwakilan ILO di Indonesia. Penjelasan ini memperkuat penjelasan dari Kasubdit Pengawasan K3, Kementerian Ketenagakerjaan.