Kemenkes Tolak Larang Asbes Walau Picu Kanker

INA-BAN menyerahkan berbagai dokumen kajian yang dibuat oleh INA-BAN kepada Kementrian kesehatan RI (18/01/2022)

“Kami tidak Bisa melarang penggunaan asbes selama Industri masih mengijinkan untuk mengimport bahan tersebut” ujar Kartini Rustandi, Sesditjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada pertemuan audiensi INA-BAN di Gedung Adhyatma, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta (18/01).

Berbagai lembaga dunia seperti WHO, ILO dan Bank Dunia telah lama nyatakan semua jenis asbes bersifat karsinogenik. Termasuk chrysotile atau asbes putih yang masih digunakan Indonesia. Saat ini sudah 67 negara melarang penggunaan asbes. Indonesia termasuk 3 besar negara pengkonsumsi asbes di Dunia. Kondisi inilah mendasari kekhawatiran Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN ) dalam audiensi dengan kemenkes.

“Di Indonesia sangat mudah sekali membeli produk-produk yang mengandung Asbes. Seperti tepung asbes, kain asbes, talak dan barang-barang yang mengandung asbes lainnya. semua barang ini diperjual belikan secara bebas di situs-situs online seperti di Tokopedia,” ucap Dici Sadewa, pegiat INA-BAN .

Indonesia yang berada di cincin api memiliki tingkat resiko bencana yang tinggi. Dengan potensi bencana yang sangat tinggi penggunaan material Asbes dapat meningkatkan resiko paparan serat Asbes. Sejumlah peristiwa runtuhnya rumah dengan atap asbes akibat bencana alam menjadi perhatian INA-BAN dengan pertimbangan dampaknya dimasa depan

“Kita tidak bisa terus acuh dengan dampak yang bisa menggerogoti kesehatan warga. Harus ada langkah tegas dan terukur untuk mulai mengendalikan dan akhirnya menghentikan konsumsi asbes,” kata Firman sebagai perwakilan INA-BAN

Kesadaran atas bahaya asbes sebenarnya sudah dimiliki negara sejak tahun 1985. Namun demikian konsumsi asbes sejak tahun 2000an terus meningkat. Bahkan disaat banyak negara di dunia telah menghentikan penggunaan asbes saat ini, pemerintah belum menampakkan kehendaknya untuk menghentikan konsumsi asbes.

“Tahun 1985 Menteri Tenaga Kerja sudah mengeluarkan aturan bahwa asbes hanya boleh digunakan terbatas ketika tidak ada bahan lain. Itupun ada syarat dan kendali kesehatan jika pekerja terpaksa mengolah asbes di industri. Peraturan itu belum berubah, industri malah bertambah, artinya aturan tersebut justru melegalisasi pemakaian asbes,” ucap Ari, organiser korban penyakit akibat asbes.

Makin meluas dan banyaknya industri asbes yang enggan menggunakan bahan pengganti asbes membuat kekhawatiran INA-BAN semakin nyata. INA-BAN menyampaikan sudah adanya 10 korban penyakit akibat asbes yang diadvokasi untuk mendapatkan kompensasi.

“Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap pekerja di 2 industri pengolahan asbes. Standar pemeriksaan yang digunakanpun standar ILO HR CT Scan. Ada 10 orang yang terdiagnosis penyakit akibat asbes. Kami juga mengirimkan hasil pemeriksaan ke jaringan advokasi asbestos di negara maju seperti Jepang, Korea, dan Australia. Hasilnya juga mengkonfirmasi hal yang sama. Mau sampai bagaimana negara baru akan mengeluarkan kebijakan pelarangan?” gugat Dici.

Menanggapi laporan yang disampaikan INA-BAN, salah satu staf direktorat kesehatan lingkungan menyampaikan dukungannya untuk membesarkan kampanye pelarangan asbes. Nugroho mengungkapkan perlunya berbagai kementerian untuk duduk bersama berbagai pemangku kepentingan berkenaan dengan bahaya asbes saat ini dan masa depan. Walau demikian dia belum dapat menjanjikan akan adanya langkah dari kementerian kesehatan secara lebih jauh.

“Sejak saya kuliah di kesling (Kesehatan Lingkungan) dulu tahun 1983, pembicaraan terkait masalah asbes ini sudah sering di gulirkan, dan Saya secara Pribadi mendukung apa yang di sampaikan INA-BAN “ ucap Nugroho

Firman sebagai kepala advokasi INA-BAN menyangkan sikap kemnkes yang masih ragu dalam melakukan pelarangan penggunaan asbes

Walau memperoleh dukungan personal dari staff kementerian, INA-BAN menyayangkan sikap kemenkes yang masih belum berani untuk mengeluarkan kebijakan atau bahkan sekedar rekomendasi pelarangan  asbes.

“Asbes digolongkan sebagai  Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun oleh Kementerian Perindustrian digolongkan kedalam Bahan Berbahaya (B2). Ini dipengaruhi oleh sikap kemenkes sebagai kementerian yang bertanggung jawab akan kesehatan warga negara yang masih ragu terkait Asbes. Sampai saat ini peraturan yang keluar dari kemenkes adalah batas menyatakan 0,1 serat asbes per cc udara sebagai ketentuan udara sehat, artinya asbes boleh dipakai asal udaranya dijaga sedemikian rupa. Tapi selama ini kan kemenkes juga tidak memantau pemberlakuan aturannya,” ujar Firman.

Sulitnya melakukan pelarangan terhadap penggunaan material asbes juga dipengaruhi oleh dampak penggunaan asbes yang bersifat laten. Penyakit akibat asbes baru akan terlihat setelah 10-20 tahun paparan. Hal demikian menjadi alasan kemenkes belum mengeluarkan kebijakan yang tegas.

“kami juga kesulitan dalam mencari bukti terkait penyakit akibat asbes. Di sektor Industri misalkan, dalam pembuktian penyakit akibat kerja (PAK) para pekerja seringkali tidak memiliki rekam jejak kesehatan selama bekerja. Kedepanya akan dibuatkan sistem terpadu yang dibuat secara digital untuk merekam riwayat kesehatan para pekerja,” ujar Kartini. Dia juga menerangkan upaya kemenkes melalui keluarnya Permenkes No 56 tahun 2016 tentang penyelenggaraan pelayanan PAK.

INA-BAN menyampaikan harapannya agar Kemenkes memiliki peta jalan yang jelas dalam upaya menghadapi resiko penyakit akibat asbes. Pengalaman keluarnya aturan dan peta jalan pelarangan penggunaan Timbal (Pb) menjadi catatan penting agar kemenkes menjadi aktor penggerak upaya pelarangan asbes yang dilakukan dapat secara terencana dan terukur.

“Kami juga mahfum Indonesia tidak bisa serta merta melarang. Namun harus ada upaya yang dimulai hari ini, salah satunya dengan membuat peta jalan menuju pelarangan asbes,” ucap Ari.

Menanggapi ajakan INA-BAN, kemenkes berkelit bahwa ada banyak faktor yang perlu dikhawatirkan berkelindan dengan kesehatan warga.

“Kami tidak bisa membuat kebijakan khusus terkait Asbes karena bukan hanya asbes yang memiliki resiko bahaya kesehatan. Kami sedang membuat peta jalan mengenai baku mutu kualitas udara bersama FKMUI dan ini hampir rampung. kami akan mengundang INA-BAN untuk memperkaya gagasan mengingat asbes ini juga bagian dari material yang dapat mengancam kesehatan masyarakat,” ungkap Vensyah Sitohang, Direktur Kesehatan Lingkungan.

Menindaklanjuti hasil audiensi, INA-BAN berencana akan melaksanakan FGD sebagai upaya menghubungkan berbagai pemangku kepentingan dalam isu asbes. Semuanya diharapkan dapat bergotong-royong menjaga kesehatan warga Indonesia agar terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh asbes.

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *