COVID 19, ASBESTOS, DAN VAKSIN INFLUENZA

Pada awal outbreak Covid 19, seluruh negara di Dunia masih mencari-cari apa yang sedang terjadi. Penularan yang demikian cepat virus dari keluarga SARS ini mengadirkan banyak pertanyaan. Perlahan-lahan virus baru yang pertama menjangkiti di Wuhan, China, ini ditemukan pola penyebarannya melalui droplet yang melayang dan terhirup karena ringannya. Seorang Menteri Kesehatan di Indonesia dengan berkelakar mengatakan bahwa Covid 19 tidak jauh bedanya dengan influenza biasa dan akan dapat sembuh dengan sendirinya.

Siang itu saya melihat sebuah unggahan di halaman facebook seorang teman. Hampir setahun yang lalu, teman ini mengunggah foto saat dia sedang disuntik vaksin. Padahal saat itu belum ada satupun vaksin Covid 19 yang sudah melewati tahap uji klinis dan dapat digunakan. Penasaran dengan foto yang muncul dihalaman facebook pribadi, saya memberanikan bertanya vaksin apa yang dimaksud? Teman ini menjawab, “vaksin flu,” katanya.

Sekitar bulan Maret 2020, ramai diberitakan sejumlah orang dan perusahaan melakukan vaksinasi flu massal. Ketika The Advisory Commitee of Immunization Practices (ACIP) yang bermarkas di Amerika Serikat pada bulan Februari 2020 menganjurkan imunisasi (vaksinasi) flu untuk mecegah pemberatan oleh Covid 19, seorang pejabat Kementerian Kesehatan justru mempertanyakannya dengan dalih kekhasan wilayah Eropa dan Amerika yang berbeda dengan Indonesia.

Di laman berita CNBC Indonesia, 13 Juli 2021, dimuat laporan penelitian European Congress of Clinical Microbiology & Infectious Disease (ECCMID) yang mengkonfirmasi anjuran lembaga ACIP, Amerika Serikat tentang vaksin flu di masa pandemi Covid 10. ECCMIC mengatakan mereka yang telah menerima vaksin flu sebelum Covid-19 cenderung tidak mengunjungi unit gawat darurat dan cenderung tidak dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Sebelumnya,19 Agustus 2020, WHO menyampaikan riset yang dilakukan CDC Amerika juga tentang hal yang sama, menganjurkan vaksin flu untuk mencegah pemberatan oleh Covid 19.

Gejala seperti flu yang ditunjukan oleh orang yang terpapar Covid 19 mungkin menjadi dugaan awal mengapa anjuran vaksin flu untuk mencegah pemberatan Covid 19 dikeluarkan lembaga yang kredibel tersebut. Disaat belum ada vaksin yang tepat, pilihan menganjurkan vaksin flu nampaknya menjadi alternatif yang tersedia saat itu.

Para Penyerang Paru

Di hampir mayoritas orang yang terpapar Covid 19, mengalami kondisi dimana paru-parunya mengalami masalah berat. Sesak nafas berat yang diikuti menurunnya saturasi oksigen menjadi penanda seseorang terjangkit Covid 19. Coba buka mesin pencari google dan ketik “Covid 19 Lung X-Ray” pilihlah hasil pencarian berupa gambar. Kita akan melihat begitu banyak hasil x-ray paru Covid 19 dengan ciri khas kabut putih yang menutupi paru.

Bagi pemerhati dan praktisi kesehatan, gambaran kabut putih di paru-paru bukanlah hal baru. Ada sejumlah penyakit/kelainan paru yang juga ditunjukan dengan gambar tebalnya selubung putih menutupi posisi paru. Kanker paru, penebalan pleura, afeksi pleura dan sejenisnya juga di tunjukan dengan terdapatnya gambaran serat hingga selaput putih yang menutupi paru.

Di negara-negara yang pernah menghadapi badai penyakit akibat asbestos, gambaran paru-paru yang tertutup selaput putih demikian juga pernah dihadapi. Asbestos adalah serat yang sangat kuat yang berasal dari batuan alamiah. Asbestos yang menjadi penyebab kanker paru, penebalan pleura dan gangguan paru lainnya juga digambarkan dengan hasil teknologi pengindraan yang hampir sama. Dahsyatnya bahaya asbestos bagi kesehatan juga melandasi tulisan silent spring (Rachel Carsons, 1962) dan menjadi penanda awal dimulainya gerakan anti asbestos di dunia (Terracini, 2019). Di ikuti dengan laporan dari International Agency for Research on Cancer (IARC, 1977) yang mengatakan bahwa asbestos bersifat karsinogenik, kesadaran masyarakat tentang bahaya asbes bagi kesehatan paru pun terus meningkat. Tercatat tahun 1970, sejumlah pekerja industri pengolahan dan pemasok asbestos melakukan gugatan terhadap perusahaan.

Tahun 1997, sejumlah dokter ilmuan berkumpul di Helsinki, Finlandia, merumuskan sebuah dokumen bernama Asbestos, Asbestosis and Cancer, The Helsinki Criteria for Diagnosis. Kriteria Helsinki yang disepakati untuk mendeteksi penyakit yang berkaitan dengan paparan serat asbestos tahun 1997 ini kemudian diperbaharui pada tahun 2014 dengan tambahan sejumlah temuan penyakit baru yang juga disebabkan oleh asbestos.

Dalam salah satu anjuran yang dikeluarkan oleh tim pengkaji Kriteria Helsinki (1997, 2014) ini dikatakan bahwa vaksin influenza dan pneumococcus disarankan untuk diberikan kepada mereka yang menderita asbestosis. Hal ini didasari oleh belum adanya vaksin atau obat yang sesuai dan perlunya vaksin untuk mencegah pemberatan dan kematian akibat penyakit sejenis “pneumonia” akibat asbestos.

Jika kita mengingat kembali, tahun lalu (2020) kata pneumonia yang diikuti dengan tambahan “akut” juga terelasi dengan kondisi akibat Covid 19. Bedanya, vaksin influenza untuk pencegahan pemberatan Covid 19 dianjurkan bagi manusia sebelum terpapar Covid agar dapat memberi efek pencegahan pemberatan dan kematian. Vaksin yang sama dianjurkan diberikan bagi mereka yang menderita asbestosis akibat pajanan asbes. Pembeda lainnya adalah gambaran selubung putih di paru-paru dihasilkan oleh teknologi X-ray untuk mendeteksi penderita Covid 19, sementara perlu High Resolution CT Scan bagi penderita gangguan paru akibat asbestos.

Menyelamatkan Manusia

Korban meninggal akibat Covid 19 per 3 Agustus 2021 telah mencapai 4,26 Juta jiwa di seluruh dunia dengan peningkatan angka kematian mencapai 10.000 orang lebih di tanggal yang sama (Worldometers). Saat tulisan ini dibuat, Indonesia sudah mencapai 100.000 orang yang meninggal akibat Covid 19.

Sugio Furuya dkk (2018) mengestimasikan sedikitnya 255.000 orang meninggal pertahun akibat paparan asbestos di seluruh dunia dimana 233.000 diantaranya merupakan pekerja yang berhubungan dengan asbes. Bukan angka yang kecil untuk segera memulai memitigasi potensi bencana akibat asbestos. Indonesia sendiri masih mengimpor ratusan ribu ton asbestos dalam bentuk bahan baku untuk diolah mayoritas menjadi atap, lembaran dinding, dan diikuti berbagai produk lainnya.

Kasus penyakit asbestos di Indonesia masih terus menjadi misteri karena pemerintah juga tidak kunjung melakukan upaya pengujian terhadap penyakit paru-paru yang di derita oleh pekerja yang terpapar asbestos. Alih-alih mau mengakui keberadaan korban sebagai penyakit akibat kerja. Douglas dan Van den Borre (2019) mengakatakan acuhnya pemerintah untuk menghasilkan kebijakan yang tepat melindungi warga dari penyakit akibat asbes di dorong oleh tiga hal; pertama, kuatnya lobi yang dilakukan industri asbes. Kedua, isu ini hanya berpengaruh pada kelompok kecil elit politik yang kurang berpengaruh, dan. Ketiga, yang paling besar adalah karena penyakit yang muncul akibat asbestos ini bersifat laten dan membutuhkan puluhan tahun untuk tampak.

Dari perjalanan advokasi yang dilakukan LION Indonesia (Local Initiative for OSH Network Indonesia) terhadap 60 orang pekerja industri pengolahan asbes (tali asbes, gasket/otomotif, dan atap semen), 6 orang diantaranya terkonfirmasi menderita penyakit akibat asbes. Penelitian lain yang dilakukan Anna Suraya dkk (2020) juga membuktikan adanya penyakit kanker akibat paparan asbestos di tempat kerja. Walau sudah ada temuan yang demikian, pemerintah sasat ini masih belum tergerak melarang asbestos di Indonesia dengan berbagai alasannya. Jika mitigasi terhadap bencana asbestos tidak segera dilakukan, bencana seperti Covid 19 bukan tidak mungkin akan terjadi kembali secara lokal akibat masih bercokolnya asbestos.

Tawaran Douglas dan Van den Borre (2019) agar pemerintah lebih memberi perhatian terhadap potensi bencana akibat asbes patut menjadi pemikiran dan langkah kedepan demi menyelamatkan Indonesia dari bencana asbestos. Tiga proposal yang diajukan Douglas itu adalah pertama, mendorong pembuat kebijakan di negara-negara yang belum melarang penambangan, impor dan penggunaan asbes harus segera menerapkan larangan.

Jika hal ini tidak mungkin, misalnya, karena perlawanan politik, mereka harus mengambil langkah-langkah untuk memfasilitasi sosialisasi larangan tersebut dalam waktu dekat. Misalnya, dengan memperkenalkan prosedur untuk mengukur paparan asbes dan kejadian mesothelioma, sehingga membuat penolakan terhadap risiko penggunaan asbes menjadi lebih sulit.

Kedua, upaya untuk meningkatkan kesadaran publik yang menargetkan sumber risiko paling penting harus digandakan. Kampanye besar berkenaan dengan bahaya asbes perlu diperlakukan lebih serius sebagaimana kampanye kesehatan lainnya. Kampanye demikian ini dapat disejajarkan dengan kampanye bahaya mengemudi sambil mabuk, bahaya merokok, juga prokes pencegahan Covid 19, yang bukan hanya menyasar kelompok tertentu melainkan kampanye luas.

Pengetahuan yang lebih baik tentang penggunaan asbes, cara mengidentifikasinya, dan cara menanganinya dengan aman berpotensi sangat substansial mengurangi paparan asbestos bagi pekerja konstruksi hingga ke rumah tangga.

Ketiga, perlu adanya dorongan agar pemerintah memperbesar subsidi publik untuk pengujian asbes, langkah-langkah pengurangan, penggantian, hingga penghapusan konsumsi asbes. Harus disadari bahwa mengabaikan kemungkinan bencana akibat asbes akan menimbulkan kerugian yang begitu besar bagi negara dan pengusaha sekaligus. Hal yang juga cukup mendesak saat ini juga adalah mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan wajib vaksinasi influenza dan pneumococcus bagi para pekerja yang berhubungan dengan asbestos. Jangan sampai pekerja industri asbes dan industri lainnya yang berhubungan dengan asbes terabaikan memperoleh vaksin Covid 19 dan vaksin influenza tahunan untuk mencegah pemberatan dan kematian.

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *