Catatan Untuk Indonesia: Perjalanan Panjang Inggris dalam Melawan Penyakit Akibat Asbes

Inggris adalah negara di benua eropa yang termasuk dalam negara dunia pertama. Inggris juga memiliki sejarah industri yang kuat mulai dari tahun 1750 di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi dan teknologi. Terlebih saat perang dunia ke-2, industri kapal laut maju pesat demi mendukung angkatan bersenjata pada saat itu.

Industri kapal laut yang maju di Inggris, ternyata menyisihkan cerita lain untuk para pekerjanya. Industri menggunakan asbes sebagai salah satu material dalam pembuatan kapal. Material asbes dipilih sebagai bahan yang ideal sampai tahun 1980an. Asbes dapat ditemukan di ruang mesin kapal dan ruangan ketel. Selain itu, asbes dapat ditemukan di lantai, dinding, langit-langit ruangan. Pekerja dan anggota militer terpapar oleh asbes, yang terbukti dapat menyebabkan penyakit kanker, asbestosis hingga mesothelioma.

Pada kurun waktu 2015-2016, Kantor Statistik Nasional Inggris mencatat bahwa kematian akibat mesothelioma yang disebabkan paparan asbes di Inggris dan Wales meningkat dari 2.308 menjadi 2.313. Kematian paling tinggi terdapat pada wilayah Inggris Bagian Tenggara (434), Timur (306), Barat Laut (288), Barat Daya (277), Yorkshire dan Humber (217). Peningkatan terbesar yang dicatat antara tahun 2015 dan 2016 dicatat di Cornwall (21), Brighton dan Hove (13) South Tyneside (12) dan Swale (10). Kematian akibat paparan asbes masih terbilang tinggi. Padahal Inggris telah melarang penggunaan asbes secara total sejak 24 Agustus 1999.  Sebelumnya Inggris masih melegalkan Chrysotile sampai setelah Uni-Eropa melarang penggunaan Chrysotile (asbes putih). Dalam sebuah studi tentang kematian mesothelioma di Eropa pada tahun 1999, Profesor J Peto memperkirakan bahwa sekitar 250.000 orang akan meninggal akibat penyakit terkait asbes antara 1995 dan 2029 di Inggris.

Mesothelioma adalah warisan yang mengerikan dari masa lalu industri di Inggris. Ini biasanya memakan waktu sekitar 30-40 tahun sejak saat paparan pertama terjadi untuk berkembang. Selain Inggris bagian tenggara, London telah sangat terpengaruh oleh penyakit asbes akibat industri di daerah tersebut. Sejumlah besar serat asbes mentah dikeluarkan dari kapal-kapal yang masuk ke dermaga London dan banyak pekerja dermaga telah mengontrak penyakit asbes.

Pekerja konstruksi di Inggris adalah kelompok berisiko tinggi lainnya, terutama karena asbes sangat umum ada di bangunan tua dan tempat tinggal tua di negara ini. Bangunan yang didirikan atau direnovasi sebelum tahun 2000 cenderung menggunakan asbes. Pekerjaan yang berhubungan dengan gedung dengan risiko tinggi lainnya meliputi insinyur HVAC (pengaturan suhu dalam suatu bangunan), plester bangunan, kontraktor atap, kru pembongkaran, tukang cat, pekerja pemeliharaan dan guru. Selain pekerja yang berhubungan dengan gedung, pekerja lainnya yang memiliki resiko terkena paparan asbes adalah pekerja kelistrikan, pembuat mesin boiler dan pekerja pipa karena material yang digunakan salah satunya menggunakan asbes. Namun, bukan hanya para pekerja yang terkena asbes. Sebagai contoh, Ian Atkinson, yang meninggal karena mesothelioma pada tahun 1999, telah terpapar asbes saat bersekolah di sekolah dasar setempat dimana taman bermain ditutupi oleh debu asbes.

London memiliki keunggulan dalam kaitannya dengan pengobatan mesothelioma. Bart’s Hospital memiliki salah satu klinik rawat jalan terbesar di Inggris untuk pasien mesothelioma. Rumah sakit ini telah membentuk tim peneliti yang terdiri dari sekelompok dokter, perawat dan peneliti laboratorium yang bertujuan memperbaiki pengobatan untuk mesothelioma dan kanker paru-paru dan untuk meningkatkan pemahaman akan kondisinya. Bart’s Mesothelioma Research mengoperasikan program uji klinis dan perawatan yang dipelopori Bart’s telah diterima di seluruh dunia. Selain itu, Inggris sendiri banyak lembaga yang berdiri menawarkan jasa dalam penggantian asbes seperti Rhodar, Essex County Council dan UKATA sebagai lembaga yang menawarkan jasa pelatihan dalam mengganti material asbes. Mengingat dalam penanganan asbes harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak terpapar asbes. Biaya dalam mengganti asbes memang tidaklah murah. Seperti rata-rata untuk area  yang kecil kurang dari £ 1000 atau setara dengan Rp. 17.000.000,00. Untuk area yang lebih luas seperti pembuangan asbes pada garasi, biayanya bisa sampai £ 2500 atau setara dengan Rp.42.000.000,00. Tapi dalam urusan investasi kesehatan, harga tersebut tidak dapat dibandingkan dengan kesehatan keluarga.

Pada bulan Mei 2002 ada kepentingan media yang besar dalam keputusan House of Lords (Pengadilan Tinggi) tentang kasus pengadilan asbes. Keputusan tersebut berpusat pada apakah seseorang yang terjangkit mesothelioma melalui paparan asbes oleh beberapa pengusaha yang diperlukan untuk membuktikan atasan mana yang terutama bertanggung jawab untuk mengklaim kompensasi. Ada tiga cara bagi orang yang menderita asbes untuk mendapatkan kompensasi di Inggris. Mereka dapat menuntut mantan majikan mereka (atau perusahaan yang bertanggung jawab atas paparan asbes); mengklaim manfaat dari DWP (Department for Work and Pensions) dan sistem tunjangan negara, karena banyak penyakit terkait asbes diakui sebagai penyakit yang diakui oleh negara; dan beberapa penderita dapat mengklaim dari Undang-undang Pneumoconiosis dll (Pekerja Kompensasi) tahun 1979. Tindakan ini disahkan untuk memungkinkan Departemen Lingkungan Hidup membayar kompensasi kepada penderita penyakit terkait debu dimana mantan majikan mereka bangkrut dan / atau tidak dapat memiliki sebuah kasus pengadilan diajukan terhadap mereka. Namun, perlu dicatat bahwa klaim penyakit terkait asbes yang dibayar berdasarkan tindakan ini jauh lebih rendah daripada permukiman pengadilan dan penghargaan.

Menurut The Actuary, pembayaran untuk mesothelioma antara £ 50.000 dan £ 100.000 atau setara dengan Rp 850.000.000 dan Rp. 1.700.000.000 ditambah biaya pengacara. Salah satu pemukiman yang mendapatkan kompensasi tertinggi sejauh ini di Inggris adalah sebesar £ 1,15 juta atau setara dengan hampir 2 triliun rupiah. Ahli medis membagi penyakit yang berhubungan dengan asbes menjadi dua kategori: penyakit seperti asbestosis di mana paparan tambahan terhadap asbes akan meningkatkan tingkat keparahan penyakit, dan penyakit seperti mesothelioma jika ada paparan asbes tambahan tidak mempengaruhi keparahan penyakit.

Pada bulan Februari 2001, di Fairchild V. Glenhaven, Hakim Curtis memutuskan di Pengadilan Tinggi bahwa tidak mungkin untuk membagi tanggung jawab atas klaim yang berkaitan dengan penyakit terkait asbes yang tidak dapat dibagi jika ada lebih dari satu kemungkinan sumber utama pemaparan asbes.  (Keputusan ini dijatuhkan oleh Pengadilan Banding pada bulan Desember 2001.) Pengadilan Tinggi membalikkan keputusan tersebut pada bulan Mei 2002. Namun, alasan penghakiman ini tetap dipublikasikan.

Perjalanan panjang dan usaha yang dilakukan melawan penyakit akibat asbes di Inggris dapat menjadikan perbandingan dan pembelajaran, bagi negara manapun yang belum melakukan pelarangan asbes.  Termasuk Indonesia. Indonesia sendiri sudah melakukan upaya-upaya dalam melakukan pelarangan asbes di Indonesia dimulai pada tahun 2012 dengan di bentuknya INA-BAN (Indonesia Ban Asbestos Network). Sebuah organisasi dari berbagai organisasi dan individu yang bersatu untuk melakukan pelarangan asbes di Indonesia.

Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh INA-BAN mulai dari pengorganisasian pekerja di pabrik asbes, kampanye sampai kepada audiensi dengan anggota legislatif tingkatan daerah. Upaya yang dilakukan membuahkan hasil diantaranya adalah ditemukan diagnosa pada 3 pekerja pada industri asbes di Bogor yang terkena penyakit akibat asbes. Desember 2017, seorang pekerja bernama Sriyono, telah mendapatkan klaim dari BPJS Ketenagakerjaan sedangkan 2 lainnya belum bisa mendapatkan klaim karena berstatus mantan pekerja. Para pekerja tersebut terkena dampak asbes dikarenakan tidak mendapatkan Alat Perlindungan Diri (APD) sesuai standar dalam menangani asbes. Menurut pengakuan Sriyono, dulu penggunaan APD hanya menggunakan masker kain yang mana sebetulnya debu asbes masih dapat terhirup.

Indonesia sendiri sudah memiliki beberapa regulasi yang menyangkut soal asbes yaitu Peraturan Pemerintah Indonesia mengenai penggunaan asbes dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) tahun 1985, Keputusan Menakertrans No. 03 tahun 1985 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) terhadap penggunaan asbes putih di tempat kerja, Keputusan Dirjen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 104 Tahun 2006 tentang aturan penggunaan asbes putih di tempat kerja menurut panduan ILO tentang penggunaan asbes yang aman, Pertaturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 dimana disebutkan asbes dikategorikan ke dalam B3 (Bahan Berbahaya Beracun), Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 bahwa asbestosis, kanker paru dan mesothelioma adalah dikategorikan sebagai penyakit akibat hubungan kerja. Namun, industri asbes masih seakan menutup mata terhadap keselamatan pekerjanya. Industri asbes tempat Sriyono bekerja adalah salah satu dari sekian industri asbes di Indonesia. INA-BAN juga terus melakukan pengorganisasian pekerja dan korban penyakit akibat kerja (PAK) asbes walaupun nampaknya memakan waktu yang lebih lama.

Haruskah masyarakat Indonesia konsumen produk asbes khawatir akan kesehatannya? Jawabannya tentu iya. Seperti di Inggris, selain pekerja masyarakat juga banyak yang terkena penyakit akibat asbes karena menggunakan material asbes pada bangunan atau rumah yang mereka dirikan. Legalnya penggunaan asbes, Indonesia akan mengalami ledakan penyakit akibat asbes setiap tahunnya karena dampaknya akan terasa 10-30 tahun. Bahkan menurut Dokter Okupasi yang tergabung dalam INA-BAN, Dokter Anna Suraya, di salah satu rumah sakit rujukan di Jakarta bahwa setiap harinya 3 sampai 4 orang menderita penyakit kanker paru. Juga, sudah ada riset kecil di rumah sakit khusus paru bahwa 25,9% penderita kanker paru disebabkan oleh asbes walaupun belum berani dipublikasikan. Sebelum hal ini meluas, negara harus hadir dalam menjamin hak untuk hidup sehat bagi masyarakatnya.

 

(Nazar Ali – Dikutip dari berbagai sumber)

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *