Seminar Nasional “Asbestos : Racun Berhambur di Negeri Bencana”
Hotel Oria Jakarta – 9 Mei 2019
“Asbestos itu bahaya dan bukan mitos,” tegas Darisman selaku Board Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN). Di perkirakan setidaknya ada 222,000 korban penyakit akibat asbes yang meninggal setiap tahunnya1. Dalam sambutannya di acara Seminar Nasional Asbestos : Racun Berhambur di Negeri Bencana, sebuah seminar dalam memperingati Peringatan hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja Sedunia – 2019 yang diselenggarakan atas kerjasama antara INABAN dan Lembaga Perburuhan Internasional (ILO) Jakarta. Darisman mengungkapkan, bila Indonesia harus bercermin pada negara-negara yang sudah melakukan pelarangan asbes, jika penggunaan asbes terus dilakukan maka jumlah korban akan terus bertambah.
“Bagaimana dengan Indonesia?, di Indonesia Asbes masih legal. 90 persen bahan bakunya digunakan untuk menjadi atap asbes. Lalu, siapa yang beresiko? Yaitu pekerja, masyarakat, dan di beberapa wilayah bencana, pekerja kemanusiaan juga sangat beresiko,” paparnya.
Indonesia tidak memiliki tambang Asbes, semua bahan material Asbes yang ada di Indonesia adalah hasil import dari negara lain. Indonesia hanya memproduksi di pabrik-pabrik, 90 persennya adalah menjadi atap rumah. Darisman mempertegas bahwa sebenarnya tidak akan ada masalah yang sangat signifikan jika proses import tersebut dihentikan.
Lanjutnya, saat ini sudah banyak bahan yang ramah lingkungan, teknologi saat ini sudah memungkinkan. Saat ini, Vietnam sudah melakukan pergantian bahan, dan ada pabrik yang dahulu menggunakan bahan baku Asbes dan sekarang sudah berganti menggunakan bahan selulosa.
Ia juga mengatakan mengapa INA-BAN gencar melakukan kampanye pelarangan Asbes. Darisman mengungkapkan karena ia bersama dengan timnya bertemu dengan korban, bahkan tidak hanya satu atau dua.
“Korbannya ada. Bahkan tidak hanya satu atau dua yang didiagnosa, karena kita memang keterbatasan dana untuk memfasilitasi itu, makanya kita baru sekitar 20-an orang yang kita tes, dan hasilnya lebih dari setengahnya terpapar asbes. Sebenarnya kenapa melakukan itu, karena kita ingin men-challenge pemerintah, seharusnya kan itu pekerjaan pemerintah,” tegas Darisman.
Hal itu juga dipertegas oleh Dr. Francisco Santos O’Çonnor (Spesialis K3 ILO Bangkok), seorang spesialis Kesehatan dan keselamatan kerja dari kantor ILO Bangkok yang pada kesempatan itu memberikan presentasi mengenai asbes dan penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan asbes, dirinya memaparkan bahwa jumlah kematian di seluruh dunia mengalami peningkatan yang sangat tinggi. “2,8 juta jiwa meninggal akibat terkena paparan bahan beracun di tempat kerja,” katanya. Ia melanjutkan, banyak sekali kondisi kerja yang berbahaya hingga akhirnya para pekerja yang terpapar bahayanya, bahkan hingga meninggal dunia.
Selanjutnya menurut laporan ILO, Asbestos di beberapa negara, 54,7 persen penyumbang kanker. Asbestos bertanggungjawab atas setengah dari jumlah tersebut. Menurutnya, peran asbes terhadap kanker paru-paru adalah mesotheolioma yang menyebabkan kematian. Selain itu, Ia mengungkapkan, angka statistik dari Eropa menunjukkan mengenai jumlah kematian karena Asbestosis dan hal itu laha yang mendorong negara-negara di Eropa untuk melarang Asbes.
“Ada masa yang cukup panjang dari pertama kali terpapar. Bila di Indonesia Asbes itu berhenti digunakan, Anda masih akan bisa menemukan penyakit kanker paru, mesotheolioma. Kerugian ini sangat besar sekali. Bukan hanya kesehatan, namun juga untuk menghilangkan (removal) asbes secara besar-besaran,” ungkap Dr. Francisco Santos O’Çonnor saat dihubungi melalui via Skype saat acara Seminar Nasional berlangsung. Ia menyebutkan, pelarangan Asbes yang dilakukan oleh suatu negara tidak akan mempengaruhi kondisi ekonomi negara tersebut.
Terkait hal tersebut, menurutnya juga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mempunyai komitmen untuk membuat agenda bersama, termasuk juga di dalamnya ada beberapa target yang cukup relevan, salah satunya tentang Asbes. “Salah satunya melindungi hak-hak para pekerja. Juga ada target lainnya, yaitu mengurangi angka kematian dari bahan berbahaya,salah atunya akibat bahaya Asbes. Satu-satunya cara adalah menghapuskan Asbes,” paparnya.
Fransisco mengatakan bahwa cara yang paling efektif untuk mencegah kematian akibat asbes adalah menghentikan pemakaian Asbes. Itu juga adalah yang akan ILO lakukan. Yaitu akan mendorong penghapusan segala bentuk penggunaan Asbes, selain itu juga mendorong negara untuk memasukkan kebijakan untuk melindungi pekerja dari bahaya Asbes.
Penelitian penyakit akibat asbes di Indonesia
Dari hasil riset yang dipublikasikan oleh dr. Anna Suraya yang merupakan Dokter Okupasi, data kematian akibat kerja pada tahun 2017 berada pada angka 2,78 juta, 60 persen di Asia. 29 persen penyebab kematian pekerja disebabkan oleh kanker. “55 persen sampai 57 persen adalah kanker paru-paru, dan 55 persen sampai 80 persen kanker akibat kerja disebabkan oleh Asbes. Ini adalah riset dari negara-negara yang sudah mempunyai laporan,” Papar dr. Anna.
Penyakit Akibat Asbes tidak bisa lagi dikatakan mitos, karena sudah ada klaim penyakit akibat kerja yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan di tahun 2018, dimana 27 persen nya adalah Asbestos Releated Desease (ARD). “Tahun 2016 kita mulai menemukan satu kasus pertama di PT Trigraha, dan langsung dilaporkan. Tahun 2017 kita melaporkan juga, meski engga banyak. Jadi engga bisa mitos lagi,” tegasnya.
Faktanya, Asbes masuk ke Indonesia pada tahun 1950. Di tahun 1981, asbes telah dimasukan ke dalam daftar penyebab penyakit akibat kerja berupa pneumoconiosis, kanker paru dan mesotheolioma yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: per.01/men/1981 tentang kewajiban melapor penyakit akibat kerja.
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2019 kembali menguatkan peran asbes dalam menyebabkan penyakit akibat kerja. Sampai 2016, kasus penyakit akibat asbes belum pernah dilaporkan secara resmi di Indonesia. “Namun, pada 2018, kasus penyakit akibat asbes merupakan 26 persen dari kompensasi PAK di Indonesia,” ungkapnya.
Walaupun secara internasional telah banyak studi mengenai dampak asbes, namun belum ada publikasi hasil studi tentang penyakit akibat asbes di Indonesia. Saat ini peneliti sedang melakukan penelitian kasus kontrol berbasis rumah sakit tentang kanker paru terkait asbes di Indonesia. Kasus merupakan pasien kanker paru yang terbukti melalui pemeriksaan histologi dan kontrol merupakan pasien non kanker paru yang terbukti melalui pemeriksann CT scan. Penelitian direncanakan mengumpulkan 674 subjek dan sampai saat ini telah terkumpul 500 subjek dan yang telah berpasangan sebagai kasus dan kontrol adalah 185 pasang.
Berdasarkan hasil awal riset yang saat ini sedang dilakukan oleh dr Anna Suraya dimana analisis terhadap 185 pasang kasus dan kontrol tersebut dr. Anna beserta timnya sudah memiliki data bahwa pekerja yang terpajan asbes memiliki risiko dua kali lipat untuk terkena kanker paru dibanding pekerja yang tidak terpajan. “Diantara seluruh jenis pekerjaan maka pekerja di industri Asbes memiliki risiko 3 kali lipat untuk terkena kanker paru dibanding pekerja lain. Asbes yang digunakan di lingkungan tidak berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya kanker paru namun belum ada data mengenai penyakit terkait asbes lainnya seperti mesothelioma, asbestosis dan kelainan lainnya,” jelasnya.
Dari hasil awal yang sudah terbukti tersebut, dr. Anna beserta tim merekomendasikan perlunya dilakukan telaah mengenai kebijakan penggunaan Asbes dan melakukan usaha-usaha pencegahan agar pekerja dan juga masyarakat terlindungi dari bahaya penggunaan Asbes. “Kami juga menyarankan agar para akademisi mendukung dilakukannya penelitian mengenai penyakit terkait asbes lainnya agar diketahui dampak penggunaan asbes di Indonesia,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa di Indonesia, kanker paru-paru sudah menjadi juara satu. Sebeagai contoh di Rumah Sakit Persahabatan, ada 1000 (seribu) korban kanker paru. Buruknya pemeriksaan kesehatan di Indonesia, menjadi salah satu hambatan dalam menemukan korban kanker paru sebagai panyakit akibat kerja, sebagai contoh seseorang yang di duga mengidap kanker paru-paru hanya ditanya perihal merokok atau tidak. Para korban tidak pernah ditanya perihal pekerjaan seperti riwayat kerja di mana, kondisi tempat kerja, atau bahan beracun berbahaya seperti asbes yang digunakan di tempat kerja. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Asbestos bukan hanya menyerang paru-paru saja, namun juga di temukan pada saluran pernapasan seperti larync / Pita suara, tenggorokan dan bahkan juga testis. “Karena masuknya partikel Asbes melalui hidung, jadi Asbes banyaknya ada di paru-paru. Ada juga Asbestos itu engga nyampe ke layer (mesotheolioma), baru nyampe ke gelembung balon, dan itu bisa menyebabkan pengerasan, akhirnya tidak bisa kembang kempis, membuat sesak bernafas” papar dr. Anna.
Kemensos: Bahaya Asbes di Wilayah Risiko Bencana
Dalam Seminar ini juga, terdapat perwakilan dari Kementerian Sosial (Kemensos), Idha Kurniasih, dirinya mengungkapkan juga bahwa sejak dua atau tiga tahun ke belakang Kemensos sudah memberikan imbauan kuat kepada anggota dalam program-programnya, khususnya dalam program-program bangunan. “Kita membuat mainstreaming berupa edukasi tentang bahaya Asbes. Untuk konteks bencana yang terjadi khususnya di Lombok dan Selat Sunda, karena banyak yang masih menggunakan Asbes,” ungkap Idha.
Selain itu, dari hasil termuan yang didapat di Lombok, ada tiga kekhawatiran utama. Pertama, mengenai pemahaman masyarakat, pekerja, karena mereka yang paling rentan terpapar. Selanjutnya tentang penanganan pasca bencana, masih banyak yang menggunakan bahan berat untuk membersihkan puing-pung asbes. Tidak menggunakan personal safety. “Kekhawatiran ketiga adalah penggunaan Asbestos itu sendiri, yaitu menggunakan ulang bahan Asbes untuk digunakan sebagai atap bangunan. Karena murah, dan mereka tidak mempunyai pilihan lain,” jelasnya.
Yang harus diupayakan menurut Idha adalah membuat panduan keamanan untuk pekerja dan relawan, pendampingan dan pengarahan untuk masyarakat. Selain itu juga, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, dan Word Health Organization (WHO) untuk mengadvokasi di level yang lebih besar untuk menghasilkan regulasi yang jelas terkait pengendalian penggunaaan material berbahan asbes.
Terkhusus di wilayah terdampak, Kemensos, menurut Idha mendorong adanya Surat Keputusan (SK) gubernur, terkhusus di Palu. Untuk adanya ketetapan tentang peraturan penggunaan Asbes. Manurut Idha, paling tidak di wilayah beresiko bencana. Selanjutnya, untuk jangka panjang bisa melakukan advokasi dengan kementerian atau kelembagaan terkait.
“Dengan terus mengembangkan materi untuk di masa mendatang. Diperlukan pengendalian penggunaan Asbes di wilayah risiko bencana, selain itu juga melakukan edukasi atau sosialisasi kepada masyarakat,” terangnya. Lebih lanjut, Idha menyampaikan bahwa Kemensos sangat sadar dengan adanya bahaya Asbes, dan kita mendorong untuk melindungi masyarakat yang lebih rentan terdampak asbes.
Hal lainnya juga dikemukakan oleh Dave Hodgkins, salah satu perwakilan dari Palang Merah Internasional. Beliau merekomendasikan untuk menghentikan penggunaan asbes karena selain alasan kesehatan juga karena biaya pemulihan akibat asbes membutuhkan biaya yang mahal. Sebagai contoh proses asbestos removal membutuhkan personal protective equiment (alat pelindung diri) yang standarnya baik dan harganya cukup mahal. Hal itu juga belum termasuk proses pengangkutan material limbah asbes hingga penguburan. Limbah asbes harus di kubur di area tanah yang tidak akan di gunakan kembali. Dave juga menyampaikan salah satu risiko yang membuatnya khawatir bahwa masih banyak fasilitas umum seperti sekolah di Indonesia yang masih menggunakan Asbes.
BNPB: Asbestos, Risiko Bencana Tambahan, Harus Ada SOP
Selain Kemensos, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Medi Herlianto menyebutkan bahwa pada tahun 2010, di Indonesia terdapat patahan aktif, hingga saat ini ada 200 patahan aktif. Penggunaan Asbes di Indonesia menurut Medi sangat dominan.
“Indonesia tahun lalu ada bencana, dan Asbes masuk dalam risiko bencana tambahan. Penanganan ini kalau tidak hati-hati akan berbahaya, harus dibuatkan SOP,” jelas Medi.
Saat ini, Hunian Sementara (Huntara) menurutnya masih dibangun dengan menggunakan atap yang terbuat dari Asbes. Selain itu, di kawasan bencana, semua sampahnya pasti mengandung limbah Asbes. Terkait hal itu, menurut Medi BNPB berkewajiban untuk membersihkan sampah yang ada di kawasan tersebut. Medi sepakat dengan INA-BAN bahwa Asbes berpotensi sebagai pembunuh.
Selanjutnya, Medi mengatakan bahwa dengan adanya risiko tersebut, harus ada pemetaan, dan harus ada SOP (Standar Operasional Prosedur), dan juga berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait. “Harus ada kebijakan strategi, kalau tidak, berarti itu disebut pembiaran,” tegasnya.
Tanggapan lain juga datang dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Saung mengungkapkan bahwa Walhi sudah menolak sama sekali penggunaan Asbes yang telah dinyatakan sebagai bahan karsinogenik. Selain bahaya risiko kesehatan yang tinggi, juga mudah produk berbahan asbes mudah rusak. “Ketika ada bencana pasti hancur lagi,” ungkapnya. Selain itu juga saat pasca bencana juga Walhi menolak pembangunan yang menggunakan meterial mengandung Asbes. Ia menambahkan bahwa tidak ada alasan untuk pabrik-pabrik lain agar bisa beralih menggunakan bahan baku lain yang lebih ramah lingkungan, terlebih untuk kesehatan masyarakat.
1IHME Global Burden of Disease http://vizhub.healthdata.org/gbd-compare